City Tour selanjutnya di kota Manado ini kulaksanakan pada tiga hari berbeda. Namun demi kepentingan keutuhan kronologi cerita dan memudahkan readers yang juga ingin city tour secara lengkap, aku kemudian merangkumnya menjadi satu jalur perjalanan yang bisa ditempuh hanya dalam waktu tujuh jam saja :)
1st stop: Monumen Coelacanth di Bahu Mall (belakang Freshmart), tepatnya di Restoran Oikano.
Disarankan membawa payung/topi/jaket bertudung demi kenyamanan saat readers nongkrong di sini. Mataharinya bersinar terik di atas kepala! Namun penderitaannya sebanding kok dengan pemandangan Pulau Manado Tua dan Bunaken di kejauhan sana :')
Dari Oikano, kita akan berjalan kaki cukup jauh untuk naik angkot di depan Freshmart. Atau bisa juga singgah foto-foto sebentar di Patung Tendean & Mongisidi yang terletak di seberang Bahu Mall. Selain kedua patung ini, readers pasti tertarik untuk mengabadikan indahnya Pulau Manado Tua diapit bangunan restoran terapung Wisata Bahari dan gedung Lion Hotel & Plaza. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan dengan naik angkot trayek Pasar 45.
2nd stop, Waruga Dotu Lolong Lasut (dekat Taman Kesatuan Bangsa, Bank BCA, dan Bank Mandiri Pasar 45). Sebenarnya menuju Waruga Dotu Lolong Lasut ini bisa aku lakukan ketika menjalani City Tour pertama, yaitu mengunjungi Taman Kesatuan Bangsa. Jelas-jelas di papan Sinopsis TKB tertulis bahwa Waruga Dotu Lolong Lasut terletak tidak jauh dari lokasi taman, tapi kemudian aku baru sadar bahwa di pojok Bank Mandiri inilah lokasi waruga itu! Astaga, padahal selama lima tahun aku selalu melalui tugu ini sepulang sekolah :'(
_intermezzo_
Dari 2nd stop menuju 3rd stop, readers akan menemukan sebuah lokasi kongkow yang unik, bernama "Kawasan Jalan Roda (Community of Jalan Roda)" yang sejatinya adalah sebuah jalan yang dipenuhi warung makan khas Manado di sisi kanan-kirinya. Tempat yang cocok untuk wisata kuliner sejenak ;)
Kenapa "Jalan Roda"? "Jalan Roda" adalah sebutan orang Manado untuk sebuah jalan setapak yang biasa dilewati Roda Sapi (Bahasa Indonesia: "Pedati") sehingga jalannya sempit dan biasanya berupa jalan tanah. Komunitas Jarod (Jalan Roda.red) adalah sebuah komunitas orang Manado yang gemar berkumpul (kongkow) di pinggir jalan sambil makan & minum. Selain di Pasar 45 ini, Jarod juga ada di gang yang menghubungkan IT Center dengan toko busana di belakangnya.
3rd stop, Klenteng Ban Hin Kiong. Dari lokasi Waruga DLL dan TKB, berjalan ke arah timur kurang lebih 20 menit (wajib bertanya kepada warga/petugas LLAJ sekitar kawasan 45 jika tidak mau nyasar ke Pelabuhan Jengki).
Sayang sekali aku hanya bisa memotret bagian depan klenteng saja, karena alasan penjaga klenteng bagian dalamnya tidak boleh difoto meskipun tidak dilarang bagi pengunjung non-Buddha untuk masuk melihat-lihat. Aku sih menghormati peraturan tersebut, walaupun dalam hati kecewa karena aku ingat Vihara Thay Hin Bio di Lampung dan Klenteng Buddha lain di Kota Tomohon, Sulut, yang tidak melarang pengunjung/wisatawan berfoto di dalam rumah ibadah. Rasanya kurang sreg jika meliput bangunan bersejarah hanya dengan kata-kata alias tanpa gambar.
Dari Klenteng Ban Hin Kiong, mari berjalan kembali ke Pasar 45 karena kita akan melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Teling.
4th stop, Makam Kanjeng Ratu Sri Kedaton dan Salumpaga Toli-Toli.
Mengunjungi lokasi ini juga sebenarnya bisa digabung dengan perjalanan City Tour pertama yaitu menuju Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara. Namun karena keterlambatan sampainya informasi yang aku terima, alhasil wisata makam ini baru berlangsung beberapa hari kemudian.
Kanjeng Ratu Sekar Kedaton adalah permaisuri dari Sri Sultan Hamengkubuwono V yang wafat pada 25 Mei 1918. Bukan hanya makam Sang Ratu, di TPU Teling ini juga menyimpan makam putranya yakni Kangeng Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga yang wafat mendahului ibundanya pada 12 Januari 1901. Berdasarkan observasi selama beberapa hari, gerbang TPU ini selalu terbuka sehingga pengunjung bisa masuk dengan bebas. Hanya saja, makam-makam bersejarah ini digembok pintunya sehingga tanpa izin penjaga kuburan kita tidak bisa melihat makam dari dekat.
Selain kedua makam bersejarah yang diumumkan oleh papan penunjuk di depan gerbang tadi, di sini juga dimakamkan seorang Ulama yang juga Pejuang Perang Cilegon-Banten 1888: Syekh KH. Mas Muhammad Arsyad Thawil Albantani. Beliau lahir di Banten tahun 1851, kemudian dibuang ke Manado (Minahasa) ketika pecah Perang Cilegon-Banten 1888 hingga akhirnya meninggal pada 19 Maret 1934. Disamping makam beliau, terbaring juga sang istri, Tarhimah Magdaleina Runtu, yang hanya diketahui tahun lahir (1860) dan tahun wafatnya (1937) saja. Ditinjau dari namanya, Ny. Tarhimah merupakan wanita asli Minahasa yang mualaf mengikuti sang suami.
Di belakang makam Syekh Thawil inilah berdiri sebuah bangunan cukup besar yang menyimpan jenazah Kanjeng Ratu dan anaknya. Namun karena tidak ditemani penjaga kubur yang menyimpan kunci gembok makam, aku pun hanya bisa melihat kubur-kubur yang berada di luar bangunan utama. Salah satunya adalah kubur berpusara "B.P.H. Hadiwidjojo, putra Sri Sultan Hamengku Buwono V. yang dimakamkan kembali di Pasarean Kagungandalem Hasta Renggo di Kotagede, Yogyakarta, pada hari Minggu Legi 22 Juli 1990."
Di sebelah barat bangunan utama berjejer rapi kuburan-kuburan milik kerabat Sang Ratu. Diantaranya adalah pusara B.R.A. Mariam Sooeryeng Ngalogo (istri dari Raden Mas Soeryodinegoro) serta B.R.M Abdoel Razak Soeryeng Ngalogo) dan istrinya, Aminah.
Mencari Makam Salumpaga Toli-Toli jauh lebih susah daripada menemukan makam Sang Ratu. Memang letaknya dekat gerbang masuk TPU, namun monumen ini dikelilingi kuburan-kuburan lain yang sebagian besar telah ditumbuhi semak belukar. Alhasil aku harus serba hati-hati, jangan sampai menginjak kubur karena pusaranya telah tertutup ilalang. Monumen sekaligus makam ini berbentuk limas dengan tiga sisi. Pada ketiga sisi tertulis "Monumen Dari Ketiga Pahlawan Salumpaga Buol Toli Toli". Nama yang tertera pada makam adalah "Otto", "Hasan", dan "Kombong" yang ketiganya meninggal pada 17 September 1922. Ketiga orang ini terbunuh dalam Pemberontakan Toli-toli melawan Kompeni Belanda yang memaksakan kerja rodi kepada rakyat di Desa Salumpaga. Peristiwa ini merupakan salah satu contoh kegigihan dan kepahlawanan dari bangsa kita untuk mengusir penjajah. Cerita tentang Peristiwa Merah-Putih di Toli-toli dapat dibaca selengkapnya disini.
_intermezzo_
Perut mulai lapar akibat capek berjalan jauh? Tenang saja, tidak jauh dari 4th stop ada RM Saroja yang terkenal seantero Indonesia karena kelezatan Nasi Kuning Manado-nya. Ini serius lho, readers, RM Saroja punya sertifikat MURI yang dipajang rapi di dindingnya. Sejak aku duduk di kelas 1 (1999) SD Kr. Eben Haezar 2 hingga saat ini (2013), RM Saroja setia dengan bangunan sederhananya. Yang berbeda hanya harganya saja seiring inflasi harga bahan pokok di negeri kita. Aroma wangi nasi kuningnya, empuk daging sapinya, renyah kentang gorengnya, bahkan wajah-wajah familiar para kokinya tidak berubah! Mungkin karena bisnis keluarga ya, jadi kokinya pun turun-temurun dari generasi ke generasi ;) Itulah juga yang menjamin rasa Nasi Kuning Saroja selalu khas dan penuh cita rasa. Karena dikelola oleh keluarga Kampung Arab (nama sebuah kampung di Teling yang mayoritas warganya adalah umat Muslim.red) sajian di RM Saroja dijamin 100% HALAL!
Bosan dengan nasi? Readers bisa menemukan tinutuan (bubur khas Manado.red) yang cuma berjarak 10 menit dari RM Saroja, tepatnya di Jalan Wakeke, berbatasan dengan SD Negeri 11 dan Gramedia. Sama seperti Jarod, Wakeke juga menjadi objek wisata kuliner yang wajib disinggahi oleh wisatawan domestik maupun internasional. Adalah Tinutuan yang menjadi bintang utama di Jalan Wakeke. Dengan harga Rp8.000-Rp15.000 per porsi, kita bisa menikmati hangatnya bubur nasi+labu dengan campuran sayur dan jagung manis. Tidak lupa juga tahu goreng dan dabu-dabu (sambal khas Manado.red) sebagai pelengkap sajian! Bubur Manado ini khas karena warna kuningnya (yang berasal dari labu) dan rasa manis (dari jagung dan labu) plus pedasnya (dari dabu-dabu). Komplit! Favoritku adalah RM Pelangi yang punya pisang goreng paling lezat dan gurih. Memang agak mahal (Rp2.500,-) tapi sebanding dengan kenikmatan yang diperoleh :9
5th stop, Gedung Minahasa Raad. "Minahasa Raad" berarti Dewan Minahasa, menunjukkan bahwa gedung ini adalah gedung DPR-nya Minahasa di masa yang lampau. Gedung dewan pertama di Sulawesi Utara bahkan pertama di Indonesia ini sedang dalam proses rehabilitasi karena rencananya akan dijadikan museum. Pada bagian depan gedung terukir angka "1930" menunjukkan tahun berdirinya gedung itu. Gedung ini berada tepat di samping Zero Point di Pasar 45, berseberangan dengan Multimart dan bersebelahan langsung dengan Gedung Joang 45.
Oh ya, tidak jauh dari lokasi ini, tepatnya berada di antara Jumbo Swalayan dan TKB, juga masih ada sisa-sisa bangunan Benteng Amsterdam. Informasi ini kutemukan di internet sih, jadi aku tidak bisa menemukan dengan tepat dimana bangunan itu berada :(
6th stop, cukup sudah jalan kakinya, sekarang kita akan banyak mengeluarkan uang untuk menyewa ojek :') Naik angkot trayek Malalayang dari Pasar 45, berhentilah di gedung SD yang berseberangan dengan Lapangan Bantik. Di samping sekolah ada sebuah jalan dengan plang besar bertulisan "Objek Wisata Batu Buaya dan Batu Niopo". Saranku sih lebih baik naik ojek menuju objek-objek wisata ini, karena pengunjung bisa nyasar apabila tidak menguasai 'medan'. Aku saja yang orang Manado asli sempat nyasar karena nekat mau mencari sendiri tanpa mengeluarkan biaya ojek :(
Batu Niopo lokasinya dekat dengan mulut gang, namun berada di belakang rumah warga (selengkapnya baca disini). Selain Batu Niopo, kita akan menemukan Monumen R.W. Mongisidi versi kecil (versi besarnya ada di Monumen Kodam TNI Manado di Sario). Perkenalkan, ini adalah Bapak Johan Mongisidi, orang yang 'berjasa' membuka mataku dan mengenalkan aku kepada empat batu bersejarah milik Suku Bantik. Yuk kenal lebih dekat dengan beliau disini :)
Dari Batu Niopo, masih dengan menggunakan ojek, kita menuju ke Batu Buaya. Letaknya lebih terpencil lagi, yaitu di kebun milik warga. Ojek hanya bisa mengantar sampai pintu masuk kebun saja. Harus hati-hati karena jalan tanah kebun ini cukup licin apabila hujan baru saja turun. (Cerita lengkapnya bisa dibaca disini.)
Kemudian kita menuju Batu Kuangang yang terletak di Perumahan CHT, Jalan Sea. Tidak perlu naik angkot lagi karena ojek bisa membawa kita melewati jalan pintas dari Kampung Bantik menuju Desa Sea. Batu Kuangang terletak di ketinggian yang juga hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua. Pengunjung bisa menikmati indahnya pemandangan laut Manado dari lokasi Batu Kuangang. Untuk lebih lengkap terkait batu ini bisa dibaca disini.
Psstt, readers, harus super hati-hati ya berada di sini. Lokasi ini cukup terpencil dan jauh dari rumah penduduk. Jika ada yang berniat jahat, pasti dia tak akan menemukan kesulitan untuk bertindak disini. Menurut penuturan Bapak yang mengantarku saat itu, di malam hari Batu Kuangang dijadikan tempat pacaran anak muda setempat lho. Hmmm...
Lokasi batu bersejarah keempat yakni Batu Lrana, berada sekitar 2 KM dari Jalan Sea, yakni di Jembatan Kolongan dekat Terminal Malalayang. Aku menyarankan untuk tetap menggunakan jasa ojek menuju objek wisata itu. Dengan angkot trayek Malalayang kita harus turun di perhentian paling ujung, yakni Terminal Malalayang. Itu pun masih harus berjalan kaki beberapa meter dengan menyeberang jalan yang sangat ramai. Resiko tambahan lagi bagi pengunjung wanita adalah: digoda oleh pria-pria 'mesum' di sekitar terminal (yeah, pengalaman pribadiku, readers!). Setidaknya jika ditemani si tukang ojek, resiko digoda om-om ini pun bisa dicoret. Pendapat pribadiku sih lebih baik keluar ongkos lebih daripada mesti panas kuping karena ulah nakal pria-pria ini :(
Sudah puas melihat si Batu Tapak Kaki (Batu Lrana)? Silakan bayar ojeknya karena sekarang saatnya untuk 7th stop: hunting sunset di pesisir Pantai Malalayang ;) Sepanjang jalan dari Jembatan Kolongan ke arah barat sudah berjejer rapi warung-warung makan pinggir pantai yang menjual pisang goreng dan milu (jagung) rebus/bakar. Lezat dan murah! Hanya dengan Rp1.500,- per pisang goreng aku sudah bisa mencicip kenikmatan yang sama dengan sajian pisang goreng di Jalan Wakeke, hahahaa...maknyoss!! Duduk-duduk santai saja ditepi pantai, kita tidak akan diusir berapa lama pun ada disitu. Oh ya, FYI, momen sunset di Kota Manado paling indah ketika waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA. Selamat menanti :)
8th stop: (another) Monumen Coelacanth di Pantai Malalayang Dua, tidak jauh dari Gerbang Bobocah. Ukurannya kecil namun tetap menarik, apalagi posisinya sejajar dengan Pulau Bunaken di kejauhan :)
9th stop: Monumen Bobocah (Gurita) yang merupakan pintu masuk alias gerbang ke Kota Manado. Letaknya sekitar 50 meter ke arah Barat dari Jembatan Kolongan.
Berhenti sampai disinikah City Tour Manado? Oh, tentu tidaaaak~ Sejauh ini kita baru keliling Malalayang-Pasar 45-Teling-Sario saja. Manado masih menyimpan objek-objek wisatanya di Tikala, Singkil, Pakowa, Kairagi, Dendengan Dalam, dll! :) Can't wait for the next city tour??? ME TOO!!! I'll do another city tour soon, my Manado :*
1st stop: Monumen Coelacanth di Bahu Mall (belakang Freshmart), tepatnya di Restoran Oikano.
Sinopsis:
Coelacanth, pertama kali muncul dalam kehidupan 400 juta tahun yang lalu, dan ikan ini dianggap telah punah semenjak akhir masa KRETASESUS 65 juta tahun yang silam sampai ketika seekor Coelacanth muncul dan tertangkap oleh jaring hiu di Afrika Selatan pada Desember 1938.
Pada tahun 1998 seekor Coelacanth tertangkap jaring nelayan di perairan Manado Tua oleh Bapak Lamech Sonothan dan diberi nama "Ikan Raja Laut".
Ikan ini sudah dikenal lama di kalangan nelayan setempat, namun belum diketahui keberadaannya oleh Dunia Ilmu Pengetahuan.
Pada Mei 2007, Bapak Julius Lahama menemukan seekor ikan Coelacanth (Ikan Raja Laut) di lepas Pantai Sulawesi Utara dengan ukuran panjang 131 cm dan berat 51 kg, ketika ditemukan dan di bawah ke darat tepat pada lokasi Monumen Ikan Raja Laut ini didirikan (Oikano, Bahu).
Coelacanth adalah ikan purba berjenis mamalia, ekornya berbentuk kipas dan matanya besar. Ikan Raja Laut ini dapat mencapai umur 22 tahun.
Dari Oikano, kita akan berjalan kaki cukup jauh untuk naik angkot di depan Freshmart. Atau bisa juga singgah foto-foto sebentar di Patung Tendean & Mongisidi yang terletak di seberang Bahu Mall. Selain kedua patung ini, readers pasti tertarik untuk mengabadikan indahnya Pulau Manado Tua diapit bangunan restoran terapung Wisata Bahari dan gedung Lion Hotel & Plaza. Nah, mari kita lanjutkan perjalanan dengan naik angkot trayek Pasar 45.
2nd stop, Waruga Dotu Lolong Lasut (dekat Taman Kesatuan Bangsa, Bank BCA, dan Bank Mandiri Pasar 45). Sebenarnya menuju Waruga Dotu Lolong Lasut ini bisa aku lakukan ketika menjalani City Tour pertama, yaitu mengunjungi Taman Kesatuan Bangsa. Jelas-jelas di papan Sinopsis TKB tertulis bahwa Waruga Dotu Lolong Lasut terletak tidak jauh dari lokasi taman, tapi kemudian aku baru sadar bahwa di pojok Bank Mandiri inilah lokasi waruga itu! Astaga, padahal selama lima tahun aku selalu melalui tugu ini sepulang sekolah :'(
Sinopsis Waruga Dotu Lolong Lasut (The Sarcophagus of Dotu Lolong Lasut):
Dotu Lolong Lasut adalah seorang pemimpin dari Suku Tombulu, tepatnya kepala Walak (Desa) Ares. Dia asli berasal dari Kinilow sebelum turun gunung ke Kali sekitar selatan Manado, yang kemudian berhenti di antara sungai besar Rumoyong-Ares.
Lolong Lasut yang juga dikenal sebagai Ruru Ares lahir di perkampungan (tumani) pertama dari Pakasaan (Suku) Tombulu di Maiyesu (sekarang dikenal sebagai "Kinilow"), setelah turun ke pesisir utara dia menemukan Tumani Wanua Aris yang kemudian berubah menjadi "Walak Aris" dan pada akhirnya disebut "Walak Ares".
_intermezzo_
Dari 2nd stop menuju 3rd stop, readers akan menemukan sebuah lokasi kongkow yang unik, bernama "Kawasan Jalan Roda (Community of Jalan Roda)" yang sejatinya adalah sebuah jalan yang dipenuhi warung makan khas Manado di sisi kanan-kirinya. Tempat yang cocok untuk wisata kuliner sejenak ;)
Kenapa "Jalan Roda"? "Jalan Roda" adalah sebutan orang Manado untuk sebuah jalan setapak yang biasa dilewati Roda Sapi (Bahasa Indonesia: "Pedati") sehingga jalannya sempit dan biasanya berupa jalan tanah. Komunitas Jarod (Jalan Roda.red) adalah sebuah komunitas orang Manado yang gemar berkumpul (kongkow) di pinggir jalan sambil makan & minum. Selain di Pasar 45 ini, Jarod juga ada di gang yang menghubungkan IT Center dengan toko busana di belakangnya.
3rd stop, Klenteng Ban Hin Kiong. Dari lokasi Waruga DLL dan TKB, berjalan ke arah timur kurang lebih 20 menit (wajib bertanya kepada warga/petugas LLAJ sekitar kawasan 45 jika tidak mau nyasar ke Pelabuhan Jengki).
Sinopsis:
Klenteng Ban Hin Kiong adalah klenteng tertua di Kota Manado yang didirikan pada tahun 1819, kemudian di tahun 1839 dibangun rumah abu (Kong Tek Su). Pada awal berdirinya klenteng ini terbuat dari rumah papan diselingi bambu yang sederhana. Klenteng ini mulai dikelola secara organisatoris sejak tahun 1935 melalui suatu organisasi perkumpulan Sam Khauw Hwee yang didirikan atas usaha dan inisiatif dua orang tokoh yakni Yo Sioe Sien dan Que Boen Tjen. Asal kata klenteng bukan dari bahasa Tionghoa, melainkan suatu bunyi instrumen sembahyang seperti lonceng genta yang mengeluarkan bunyi "teng". Dari bunyi tersebut kemudian disebut "klenteng". Ban Hin Kiong terdiri dari 3 kata, Ban berarti banyak, Hin berarti berkat yang melimpah/kelimpahan kebaikan, dan Kiong berarti istana. Pada tanggal 14 Maret 1970 klenteng ini pernah dibakar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Atas inisiatif Nyong Loho (Soei Swie Goan) yang kemudian menjabat rangkap sebagai ketua pembangunan dan ketua klenteng Ban Hin Kiong, mulailah pembangunan renovasi klenteng. Sampai kini, klenteng ini telah beberapa kali mengalami renovasi bangunan, baik penambahan lantai menjadi tiga lantai maupun peluasan ruangan dan halaman.
Sayang sekali aku hanya bisa memotret bagian depan klenteng saja, karena alasan penjaga klenteng bagian dalamnya tidak boleh difoto meskipun tidak dilarang bagi pengunjung non-Buddha untuk masuk melihat-lihat. Aku sih menghormati peraturan tersebut, walaupun dalam hati kecewa karena aku ingat Vihara Thay Hin Bio di Lampung dan Klenteng Buddha lain di Kota Tomohon, Sulut, yang tidak melarang pengunjung/wisatawan berfoto di dalam rumah ibadah. Rasanya kurang sreg jika meliput bangunan bersejarah hanya dengan kata-kata alias tanpa gambar.
Dari Klenteng Ban Hin Kiong, mari berjalan kembali ke Pasar 45 karena kita akan melanjutkan perjalanan ke Kecamatan Teling.
4th stop, Makam Kanjeng Ratu Sri Kedaton dan Salumpaga Toli-Toli.
Mengunjungi lokasi ini juga sebenarnya bisa digabung dengan perjalanan City Tour pertama yaitu menuju Museum Negeri Provinsi Sulawesi Utara. Namun karena keterlambatan sampainya informasi yang aku terima, alhasil wisata makam ini baru berlangsung beberapa hari kemudian.
Lambang Bulan-Bintang di gerbang menandakan ini adalah TPU Umat Muslim |
Selain kedua makam bersejarah yang diumumkan oleh papan penunjuk di depan gerbang tadi, di sini juga dimakamkan seorang Ulama yang juga Pejuang Perang Cilegon-Banten 1888: Syekh KH. Mas Muhammad Arsyad Thawil Albantani. Beliau lahir di Banten tahun 1851, kemudian dibuang ke Manado (Minahasa) ketika pecah Perang Cilegon-Banten 1888 hingga akhirnya meninggal pada 19 Maret 1934. Disamping makam beliau, terbaring juga sang istri, Tarhimah Magdaleina Runtu, yang hanya diketahui tahun lahir (1860) dan tahun wafatnya (1937) saja. Ditinjau dari namanya, Ny. Tarhimah merupakan wanita asli Minahasa yang mualaf mengikuti sang suami.
Di belakang makam Syekh Thawil inilah berdiri sebuah bangunan cukup besar yang menyimpan jenazah Kanjeng Ratu dan anaknya. Namun karena tidak ditemani penjaga kubur yang menyimpan kunci gembok makam, aku pun hanya bisa melihat kubur-kubur yang berada di luar bangunan utama. Salah satunya adalah kubur berpusara "B.P.H. Hadiwidjojo, putra Sri Sultan Hamengku Buwono V. yang dimakamkan kembali di Pasarean Kagungandalem Hasta Renggo di Kotagede, Yogyakarta, pada hari Minggu Legi 22 Juli 1990."
Di sebelah barat bangunan utama berjejer rapi kuburan-kuburan milik kerabat Sang Ratu. Diantaranya adalah pusara B.R.A. Mariam Sooeryeng Ngalogo (istri dari Raden Mas Soeryodinegoro) serta B.R.M Abdoel Razak Soeryeng Ngalogo) dan istrinya, Aminah.
Mencari Makam Salumpaga Toli-Toli jauh lebih susah daripada menemukan makam Sang Ratu. Memang letaknya dekat gerbang masuk TPU, namun monumen ini dikelilingi kuburan-kuburan lain yang sebagian besar telah ditumbuhi semak belukar. Alhasil aku harus serba hati-hati, jangan sampai menginjak kubur karena pusaranya telah tertutup ilalang. Monumen sekaligus makam ini berbentuk limas dengan tiga sisi. Pada ketiga sisi tertulis "Monumen Dari Ketiga Pahlawan Salumpaga Buol Toli Toli". Nama yang tertera pada makam adalah "Otto", "Hasan", dan "Kombong" yang ketiganya meninggal pada 17 September 1922. Ketiga orang ini terbunuh dalam Pemberontakan Toli-toli melawan Kompeni Belanda yang memaksakan kerja rodi kepada rakyat di Desa Salumpaga. Peristiwa ini merupakan salah satu contoh kegigihan dan kepahlawanan dari bangsa kita untuk mengusir penjajah. Cerita tentang Peristiwa Merah-Putih di Toli-toli dapat dibaca selengkapnya disini.
_intermezzo_
Perut mulai lapar akibat capek berjalan jauh? Tenang saja, tidak jauh dari 4th stop ada RM Saroja yang terkenal seantero Indonesia karena kelezatan Nasi Kuning Manado-nya. Ini serius lho, readers, RM Saroja punya sertifikat MURI yang dipajang rapi di dindingnya. Sejak aku duduk di kelas 1 (1999) SD Kr. Eben Haezar 2 hingga saat ini (2013), RM Saroja setia dengan bangunan sederhananya. Yang berbeda hanya harganya saja seiring inflasi harga bahan pokok di negeri kita. Aroma wangi nasi kuningnya, empuk daging sapinya, renyah kentang gorengnya, bahkan wajah-wajah familiar para kokinya tidak berubah! Mungkin karena bisnis keluarga ya, jadi kokinya pun turun-temurun dari generasi ke generasi ;) Itulah juga yang menjamin rasa Nasi Kuning Saroja selalu khas dan penuh cita rasa. Karena dikelola oleh keluarga Kampung Arab (nama sebuah kampung di Teling yang mayoritas warganya adalah umat Muslim.red) sajian di RM Saroja dijamin 100% HALAL!
Bosan dengan nasi? Readers bisa menemukan tinutuan (bubur khas Manado.red) yang cuma berjarak 10 menit dari RM Saroja, tepatnya di Jalan Wakeke, berbatasan dengan SD Negeri 11 dan Gramedia. Sama seperti Jarod, Wakeke juga menjadi objek wisata kuliner yang wajib disinggahi oleh wisatawan domestik maupun internasional. Adalah Tinutuan yang menjadi bintang utama di Jalan Wakeke. Dengan harga Rp8.000-Rp15.000 per porsi, kita bisa menikmati hangatnya bubur nasi+labu dengan campuran sayur dan jagung manis. Tidak lupa juga tahu goreng dan dabu-dabu (sambal khas Manado.red) sebagai pelengkap sajian! Bubur Manado ini khas karena warna kuningnya (yang berasal dari labu) dan rasa manis (dari jagung dan labu) plus pedasnya (dari dabu-dabu). Komplit! Favoritku adalah RM Pelangi yang punya pisang goreng paling lezat dan gurih. Memang agak mahal (Rp2.500,-) tapi sebanding dengan kenikmatan yang diperoleh :9
5th stop, Gedung Minahasa Raad. "Minahasa Raad" berarti Dewan Minahasa, menunjukkan bahwa gedung ini adalah gedung DPR-nya Minahasa di masa yang lampau. Gedung dewan pertama di Sulawesi Utara bahkan pertama di Indonesia ini sedang dalam proses rehabilitasi karena rencananya akan dijadikan museum. Pada bagian depan gedung terukir angka "1930" menunjukkan tahun berdirinya gedung itu. Gedung ini berada tepat di samping Zero Point di Pasar 45, berseberangan dengan Multimart dan bersebelahan langsung dengan Gedung Joang 45.
Gedung Minahasa Raad tempoe doeloe |
Fort Nieuw Amsterdam di Kota Manado Tahun 1930 |
Dari Batu Niopo, masih dengan menggunakan ojek, kita menuju ke Batu Buaya. Letaknya lebih terpencil lagi, yaitu di kebun milik warga. Ojek hanya bisa mengantar sampai pintu masuk kebun saja. Harus hati-hati karena jalan tanah kebun ini cukup licin apabila hujan baru saja turun. (Cerita lengkapnya bisa dibaca disini.)
Kemudian kita menuju Batu Kuangang yang terletak di Perumahan CHT, Jalan Sea. Tidak perlu naik angkot lagi karena ojek bisa membawa kita melewati jalan pintas dari Kampung Bantik menuju Desa Sea. Batu Kuangang terletak di ketinggian yang juga hanya bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua. Pengunjung bisa menikmati indahnya pemandangan laut Manado dari lokasi Batu Kuangang. Untuk lebih lengkap terkait batu ini bisa dibaca disini.
Psstt, readers, harus super hati-hati ya berada di sini. Lokasi ini cukup terpencil dan jauh dari rumah penduduk. Jika ada yang berniat jahat, pasti dia tak akan menemukan kesulitan untuk bertindak disini. Menurut penuturan Bapak yang mengantarku saat itu, di malam hari Batu Kuangang dijadikan tempat pacaran anak muda setempat lho. Hmmm...
Lokasi batu bersejarah keempat yakni Batu Lrana, berada sekitar 2 KM dari Jalan Sea, yakni di Jembatan Kolongan dekat Terminal Malalayang. Aku menyarankan untuk tetap menggunakan jasa ojek menuju objek wisata itu. Dengan angkot trayek Malalayang kita harus turun di perhentian paling ujung, yakni Terminal Malalayang. Itu pun masih harus berjalan kaki beberapa meter dengan menyeberang jalan yang sangat ramai. Resiko tambahan lagi bagi pengunjung wanita adalah: digoda oleh pria-pria 'mesum' di sekitar terminal (yeah, pengalaman pribadiku, readers!). Setidaknya jika ditemani si tukang ojek, resiko digoda om-om ini pun bisa dicoret. Pendapat pribadiku sih lebih baik keluar ongkos lebih daripada mesti panas kuping karena ulah nakal pria-pria ini :(
Batu Lrana |
Sering dijadikan tempat kongkow |
0 testimonial:
Post a Comment