Melihat batu yang satu ini tidaklah semudah melihat ketiga batu Suku Bantik yang lain. Memang letaknya di pinggir jalan alias di tepi pantai Malalayang (dekat Jembatan Kolongan), tapi karena batu-batu di tepi pantai ini mirip-mirip satu dengan yang lainnya, jadi sulit menentukan yang mana sebenarnya Batu Lrana*.
Batu Lrana memiliki dua tanda kaki di permukaannya. Ketika saya menyambangi lokasi ini, saya tidak bisa mengidentifikasi batu diantara batu-batu lain yang bertebaran di sepanjang pantai. Apalagi saat itu air laut tengah pasang, bisa saja batu itu sedang 'disembunyikan' air laut. Ah, semoga readers tidak mengalami kekecewaan yang sama ya...
Saya pun akhirnya berpuas diri dengan hanya memotret papan sinopsisnya saja :(
Lokasinya terletak di pesisir pantai Kelurahan Malalayang Dua, tidak jauh dari Jembatan Kali Kolongan. Kisahnya:
I. 1. Pada tahun 1764, sengketa pertama.
Persengketaan yang sengit antara Walak Kakaskasen dengan Walak/etnis/suku Bantik. Walak Kakaskasen terdiri dari Negeri Tateli, Negeri Lota, dan Kakaskasen. Alasan sengketa ialah pemilikan wilayah Malalayang (Minaga), Negeri Lota dibakar oleh orang Bantik. Residen G.R. de Cock mengirim Kapten Van Ossenberg untuk menyelesaikannya, tetapi Residen tak cakap mengatasi perselisihan tersebut dan ia diganti oleh J.L. Seydelman.
J.L. Seydelman menangkap kepala Walak Bantik "Mandagi" dan ia dikirim ke Batavia (sekarang Jakarta), akan tetapi di Selat Buton Mandagi terjun ke laut.
2. Pada tahun 1789, sengketa kedua..
Persengketaan Kakaskasen dan Bantik yang kedua pada masa kepala Walak Bantik "Samolra" terjadilah pula sengketa antara Bantik dan Negeri Tateli. Dari pihak Tateli terdapat 62 orang korban yang merupakan 2/3 dari Rakyat Negeri itu. Peristiwa ini diselesaikan oleh Dewan Kepala Walak. Samolra ditawan di Benteng Manado atau Benteng Amsterdam (Sekarang Pasar 45)
N.B. Buku Sejarah Minahasa oleh F.S. Watuseke Hal. 30-31 Cetakan ke-2, Manado, 1968.
II. Dari buku Sejarah Anak Suku Bantik Minahasa oleh M. Kiroh, Cetakan ke-1, Hal. 35, Agustus 1968. Kira-kira pada tahun 1788, banyak korban orang-orang Lota di Tateli.
III. Dari buku "Anak Suku Bantik" oleh E.A. Koapaha, Hal. 13. Tahun 1776-1789. Samolra, kepala Walak Bantik, di pihak musuh banyak korban berjatuhan. Samolra ditangkap dan ditahan di Benteng Amsterdam.
Sehubungan dengan Batu Tanda Kaki (Batu Lrana) tersebut dimana Tonaas Jopo Egang dari Desa Buha tidak sempat berperang karena telah selesai, maka dengan sangat menyesal telapak kakinya menginjak batu dengan kesaktiannya hingga berwujud tanda kakinya.
*Pengucapan "Lr" pada kata "Lrana" sama seperti mengucapkan huruf "R" dengan posisi lidah menyentuh langit-langit mulut
0 testimonial:
Post a Comment