June 14, 2014

PERKASA Trip: Central Java (Pt. 2)

Let's begin the adventure~!

FRIDAY. 2014/06/06
Hari Jumat yang indah ini, sesuai rencana, akan kami lewati a la Geng Motor! YEAY! Setelah kemarin seharian bermobil, sekarang saatnya merasakan sejuknya udara Boyolali-Magelang dengan motoran.

Pukul 07.00 aku membuka mata dan menemukan diriku tengah menggigil akibat dinginnya hawa pagi hari Boyolali. Woo hoo! I'm not missing you, Jakarta! HAHAHA. Bapak & Ibu Santi telah menyiapkan sajian khas Boyolali untuk kami: susu sapi segar! Aku yang adalah makhluk penggila susu tentu saja segera memanjatkan puji syukur atas berkat yang diberikan Tuhan ini :3 *lebay kali, Lin!* Susu semangkuk besar ini segera kuhabiskan sendiri, apalagi Ayuni dan Santi(!) ternyata tidak doyan susu.


Perjalanan dimulai pukul... hmm... pukul berapa ya :( Maafkan kemampuanku mengingat detail, ya, readers. Meskipun kami bangun jam tujuh, tapi *sepertinya* kami baru memulai perjalanan sekitar jam sembilan, dikarenakan antrian mandi dan dandan maksimal yang memakan banyak waktu. Hehehe~

Pukul 10.15 WIB kami bertemu dengan Putut di lokasi yang telah ditentukan (lagi-lagi aku lupa nama lokasinya). Kali ini tanpa Amalia yang sudah punya acara lain. Fakhri-Santi, aku-Putut, dan Santi yang motoran sendiri, kami siap memulai perjalanan!

Berhenti di pinggir jalan demi sepotong keindahan menakjubkan ini :)
Tujuan pertama adalah menuju Ketep Pass. Ketep Pass adalah sebuah objek wisata yang sudah terhitung wilayah Magelang, dengan pemandangan spektakuler Gunung Merapi di kejauhan. Ketep Pass ini berada di puncak Bukit Sawangan, diapit oleh Gunung Merapi dan Merbabu, pada ketinggian 1200 mdpl. Brrrr!! Meski tidak sedingin Candi Ceto kemarin, tetap saja sukses membuatku kedinginan. Dari Boyolali, kami menempuh +- 35 KM menuju Ketep Pass.

Kami sempat berhenti dulu untuk beristirahat, sambil menunggu Fakhri menunaikan shalat Jumat di masjid dekat pemukiman warga sekitar Ketep Pass. Puji Tuhan bisa menemukan kios jagung bakar yang cukup enak dengan harga pas di kantong! Sambil makan, aku terus mengagumi pemandangan hutan dan bukit berselimutkan kabut di kejauhan.



Memasuki Ketep Pass, pengunjung segera disambut ruangan a la museum yang menjadikan Gunung Merapi sebagai koleksi utamanya. Disini terdapat miniatur Gunung Merapi untuk mempelajari berbagai rute mendaki Gunung Merapi. Ah, entah kapan aku bisa menjejakkan kaki di puncak gunung megah itu :')


Selain miniatur Gunung Merapi, Museum Vulkanologi ini juga menyimpan berbagai dokumentasi kegunungapian, berbagai contoh bebatuan bukti letusan dari tahun ke tahun, poster puncak Garuda berukuran 3x3 m, dan beberapa foto & poster lainnya yang menggambarkan aktivitas Gunung Merapi.



Puas menikmati museum *aku sih, yang lain kayaknya "menemani Erlin menikmati museum" :3* kami menuju Pelataran Pancaarga, yang artinya "Lima Gunung". Di lokasi tertinggi Ketep Pass ini kita bisa melihat 5 gunung (kami kurang beruntung karena saat itu kabut ada dimana-mana): Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan Slamet. Indah sekali!!!

Oh ya, untuk tiket masuk ke objek wisata ini adalah Rp7.500,- per orang dan Rp2.000,- per motor untuk parkir. Jika tiba-tiba diserang lapar, di sepanjang Gardu Pandang terdapat kios-kios yang siap menyajikan mie instan hangat untuk mengusir rasa dingin! Kami meninggalkan Ketep Pass pukul 13.21 WIB.



Belum puas mengunjungi air terjun, aku kembali (merengek-rengek) minta diajak menyambangi air terjun lain di Magelang. Aku mengetahui air terjun Kedung Kayang dari my favorite travelblogger's page: efenerr.com *please take your time to visit him ;)*. Keempat makhluk pengertian itu akhirnya menyetujui permintaanku, toh memang tidak ada lagi tempat wisata yang ingin dituju. Opsinya hanya dua: Kedung Kayang, atau pemandian air panas *entah apa namanya*. Air terjun, tentu saja!

Air terjun Kedung Kayang ini letaknya tidak jauh dari Ketep Pass. Letaknya di Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, sehingga sering juga disebut "air terjun Wonolelo". Dari pelataran parkir motor menuju air terjun, kita cukup mengikuti jalan setapak yang telah disemen (atau dipaving, ya?). Tidak lama berjalan, kita akan menemukan pemandangan air terjun di bawah sana yang kemudian membentuk aliran sungai jernih. Waaaahh, sejuk sekaliiii~ 



Setelah beberapa kali jeprat-jepret si air terjun dari ketinggian, kini saatnya menghampiri 'beliau' dari jarak dekat. Nah, mari kita trekking! Hehehe... Jalur trekkingnya ringan, namun menantang bagi yang merasa jarang olahraga. Melewati jalur ini, kami sukses membakar kalori yang sudah menumpuk di perut ini.



Saat kami datang, lokasi ini tidak begitu ramai. Namun tetap saja ada dua-tiga pasangan yang berada di sini. Kami berpapasan dengan beberapa pasangan dan gerombolan anak SMA ketika trekking ke bawah. Syukurlah tidak seramai Grojogan Sewu! :')

Pukul 14.11 kami mendarat dengan sempurna di hadapan Air Terjun Kedung Kayang yang megah itu. Ah, segarnya~ Apalagi tidak ada orang lain yang mengganggu kebahagiaan kami kala itu. Tapi wacana untuk mencicipi sejuknya air tidak jadi kami laksanakan, padahal sudah kepalang tanggung karena celana kami juga basah kuyup akibat harus menyeberang sungai menuju kesini. Hahaha... Alhasil kami terus foto-foto selama +- 1 jam. 



Sekali lagi, maafkan aku ya readers, yang tidak bisa mengingat berapa retribusi memasuki objek wisata ini. Yang pasti tidak akan memberatkan kocek kok, tenang saja! ;)

Selepas dari Kedung Kayang, kami memutuskan untuk pulang ke Boyolali saja. Apalagi mengingat Putut yang mengalami 'musibah' disengat hewan-entah-apa menyebabkan matanya iritasi. *Semangat, Putut!* Sepanjang perjalanan pulang, mata kami dimanjakan oleh keindahan Merapi dan hamparan kebun & sawah di sekeliling. Seandainya yang begini ini ada di Jakarta ya...



SATURDAY. 2014/06/07.
The last day! Empat hari di Boyolali terasa cepat sekali berlalu :( Padahal rasanya baru kemarin aku mengeluhkan dinginnya air dan sempat menolak keras untuk mandi pagi, huahahaa~

Hari ini, kami memuaskan diri berleha-leha di rumah Santi. Menikmati susu segar produksi sapi 'peliharaan' keluarga Santi. Menghirup dalam-dalam sejuknya udara Boyolali. Siang ini, kami akan berangkat ke Solo untuk mencari oleh-oleh bekal perjalanan pulang ke Jakarta. Sekalian melihat wujud kota Solo juga, yang belakangan tenar seiring dengan suksesnya Pak Jokowi, ex-walikota Solo, naik pangkat jadi Gubernur DKI Jakarta *sempet aja Lin, bahas politik :p*


Terima kasih banyak kami ucapkan khusus untuk Santi Sudarsih (yang kini sudah sah dipanggil "Bu Taufiq") dan keluarga besarnya. Iya. Keluarga besar. Soalnya Pakde/Bude/Pakle/Bu'le yang memberikan kami pinjaman helm kemarin, hihihi. Terima kasih sudah begitu memanjakan kami dengan sajian-sajian nikmat dan kasur empuk, dan susu sapi yang melimpah (untukku). Dan terima kasih juga untuk Putut dan keluarga besarnya, termasuk Lia, untuk rumahnya, ilmu dan ceritanya, serta pengalaman jalan-jalan yang super menyenangkan! Syukurlah mata Putut sudah membaik :'''')

Terima kasih untuk keindahanmu, Solo-Boyolali-Magelang dan sekitarnya! I'll come back for sure! Thank you for reading, people. Bye for now!


Kedung Kayang yang langsung membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.
(Padahal sih selalu begitu tiap liat air terjun hehehe...)

June 13, 2014

PERKASA Trip: Central Java (Pt. 1)

Trip yang satu ini merupakan satu-satunya trip, sejauh ini, yang telah mengalami berulang kali reschedule sebelum akhirnya dapat terlaksana pada tanggal 4-8 Juni 2014 kemarin. Dimulai dari kerinduanku kepada Santi Sudarsih, teman sebangku tingkat 1 dan 2 selama kuliah di STAN, sekaligus jalan-jalan di kota asalnya: Boyolali. Rencana ini sempat tertunda karena ada ancaman status Gunung Merapi yang terus fluktuatif serta karena kesibukanku di Bintaro. Puji Tuhan, akhirnya trip ini bisa terlaksana bahkan ditemani dua anggota geng Perkasa yang lain: Fakhri Rizki Saputra dan Ni Ketut Ayuni.
Perjalanan dimulai dari Stasiun Jakarta Kota pukul 10.30 pagi menggunakan kereta ekonomi Gaya Baru Malam, dan tiba di Stasiun Purwosari sekitar pukul 21.00 malam! Ya, kawan, kami melewati 10.5 jam dalam kereta! Bagi Ayuni yang baru kali ini 'menikmati' bepergian jarak jauh dengan kereta, perjalanan benar-benar terasa menyedihkan :') *Ebiet G. Ade's song played in background*

Bersama Santi, Putut, dan Lia :)
Di Stasiun Purwosari kami telah ditunggu dengan penuh kesabaran oleh Putut Yoga Prabowo, teman satu jurusan di kampus STAN, dan saudaranya, Amalia Pratischa. Mengetahui tamu-tamunya ini sudah sangat kelaparan, mereka segera mengajak kami ke Cafe Tiga Tjeret yang sukses membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama! Lukisan rural yang berderet di sepanjang dinding, kreasi kursi dan meja dari barang bekas, serta sajian makanan prasmanan yang lezat nan terjangkaunya adalah alasan utama kenapa aku begitu menyukai cafe ini.


Selesai makan dan hunting foto sejenak, kami pun beranjak menuju rumah Putut di Boyolali. Semakin menambah kekagumanku akan keramahan dan kebaikan keluarga Putut, kakaknya, Mas Jarot, ikut menjemput kami di cafe dengan mobilnya. Dan lagi-lagi, aku pun segera menyukai sosok Mas Jarot yang cerdas dan menyimpan banyak ilmu pengetahuan tentang sejarah-budaya Indonesia. Ya, beliau adalah seorang dosen sejarah-budaya yang sebentar lagi akan diwisuda dan meraih gelar magisternya. Keren! Mas Jarot juga menunjukkan rumah Pak Djoko Kirmanto (Menteri PU 2004) di daerah Pengging, yang juga dikenal sebagai daerah asal sang legenda, Bandung Bondowoso.

Putut's artwork, amazing!
Tidak berhenti di situ, rasa kagum itu muncul lagi ketika aku menyaksikan beberapa hasil lukisan tangan Putut yang terpajang manis di dinding rumahnya. Trip kali ini juga sukses membawa kami mengenal satu sama lain lebih dekat, khususnya mengenal Putut yang selama ini hanya kami lihat ketika kuliah atau kebetulan bertemu di sekitar kampus. :')

Well, enough with the introduction, now let's start the storytelling!

THURSDAY. 2014/06/05
Setelah berpamitan dengan keluarga Putut, kami berenam memulai tour de Central Java dengan mobil rentalan yang harga sewanya cukup menguras kocek. Destinasi pertama: Candi Ceto! Candi yang berlokasi di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kec. Jenawi ini nyaris tidak terlihat karena kabut tebal menutupi sekitarnya. Tentu saja, candi ini kan berada di ketinggian 1496 mdpl! Untuk mencapai puncak candi, kami harus menaiki ratusan anak tangga. Kompleks candi ini berlokasi di lereng barat Gunung Lawu dengan panjang 190 m dan lebar 30 m dan merupakan candi Hindu yang berbentuk punden berundak sebagaimana peninggalan zaman prasejarah. Kami tiba di lokasi ini pukul 11.00 WIB.



Masa pendirian Candi Ceto diperkirakan sekitar abad XV, didasarkan pada penemuan angka sengkalan (angka tahun) yang terpahat pada gapura teras ke-7 dengan sengkalan yang berbunyi "goh wiku hanahut ikut" (1397 Saka/1475 Masehi). Keunikan candi ini terlihat dari bentuknya yang berteras, serta arca-arca yang masih sangat sederhana dan belum menunjukkan ciri kedewaan. Berdasarkan prasasti yang ditemukan, Candi Ceto digunakan untuk ruwatan atau pembebasan. Hal ini dikaitkan dengan cerita Sudamala seperti yang terdapat pada Candi Sukuh.

Untuk masuk ke Candi Ceto, kita dikenakan retribusi sebesar Rp3.000,- per orang ditambah biaya retribusi lagi sebesar Rp5.000,- per mobil untuk memasuki wilayah pariwisata Kabupaten Karanganyar.



Can you see how thick the fog is? Dan dasar anak pantai, aku keukeuh keringetan dong disini...

Pukul 12.30 WIB kami tiba di Candi Sukuh, yang bersuhu tidak kalah dingin dengan candi sebelumnya. Candi yang terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar ini 'hanya' terletak di ketinggian 941 mdpl jadi tidak begitu berkabut seperti halnya di Candi Ceto. Retribusi di sini sebesar Rp8.000,- per orang dan Rp5.000,- per mobil. Lebih mahal memang karena bisa dilihat bahwa pemeliharaan taman disini lebih bersih dan apik dibanding Candi Ceto. Komplek candi terdiri dari tiga teras, dan memiliki begitu banyak arca yang berasal dari berbagai cerita wayang mulai dari Garudeya hingga Rahmana.


Konon, kalau seorang gadis melompati relief di permukaan tanah ini, bisa ketahuan apakah dia perawan atau tidak. Hmm...



Komplek Candi Sukuh teras ke-3 dilihat dari puncak candi utama

Beranjak dari Desa Sukuh, kami pun melanjutkan perjalanan ke destinasi ketiga: Taman Wisata Alam Grojogan Sewu. Dengan 1 jam perjalanan, kami akhirnya tiba di objek wisata yang selalu ramai dipenuhi pengunjung meskipun bukan di hari libur. Ya, hari ini salah satunya. Selain untuk 'menemui' air terjun, banyak pengunjung yang datang untuk berenang di kolam renang buatan yang dibangun tidak jauh dari lokasi air terjun. Sepanjang perjalanan dari tempat parkir menuju pintu masuk utama, kami disambut oleh jejeran pedagang berbagai souvenir khas Solo, sekelompok kera yang sering muncul tiba-tiba dari balik semak-semak, serta rombongan joki yang menawarkan pengunjung menaiki kuda menuju ke air terjun yang memang cukup jauh ditempuh dengan jalan kaki. Wah, ini baru namanya tempat wisata: RAMAI! Aku sangat bersyukur karena di candi-candi sebelumnya sepi pengunjung, kalau tidak bisa-bisa kami kebingungan mencari momen yang pas untuk foto-foto. Duhh!




Kuliner khas di TWA Grojogan Sewu: sate kelinci. Visually tidak berbeda dengan sate ayam, namun dagingnya lebih alot hampir mirip daging bebek.

TWA Grojogan Sewu terletak di Kelurahan Kalisoro dan Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, dan memiliki ukuran luas 64,3 hektare. Terletak di ketinggian +- 1100 mdpl, taman ini memiliki objek utama berupa air terjun setinggi 81 M dan 'kebun-binatang-tanpa-pagar' karena kera-kera berekor panjang, tupai, dan berbagai jenis burung berkeliaran dengan bebas di lingkungan ini. Aku sudah pengalaman melihat kesadisan kera-kera di Uluwatu, jadi sudah tahu cara menghindar dari pencopetan oleh makhluk primata ini. Readers, jangan pernah mengusik hewan yang ada di suatu tempat wisata ya. Boleh saja jika ingin berfoto bersama, atau penasaran ingin menyentuh. Tapi harus siap dengan resiko dicakar atau dikejar balik! Aku puas menertawakan beberapa pengunjung tidak berotak yang berakhir dengan lari-lari ketakutan setelah awalnya mengganggu segerombolan kera yang sedang duduk santai di pepohonan rendah. Ckckck...



Grojogan Sewu berarti air terjun seribu. Meski air terjun di sini tidak berjumlah seribu, tetapi ada beberapa titik air terjun yang dapat dinikmati di sini. Kata sewu atau seribu disini berasal dari seribu pecak, atau satuan jarak yang digunakan saat itu yang merupakan tinggi air terjun. Satu pecak sama dengan satu telapak kaki orang dewasa. Air terjun tertinggi yang ada tingginya sekitar 80 meter. Ada pula air terjun yang tidak terlalu tinggi tetapi pancurannya meluas dan membentuk cabang-cabang. Bila sedang musim hujan, sekeliling tebing akan dihujani air terjun, tetapi saat musim panas, banyak air terjun yang kering.

Akhirnya bisa memraktekkan foto air terjun seperti kapas :')

Biasanya cuma bisa nge-freeze air terjun aja... :p

Ketika akhirnya menginjak anak tangga terakhir untuk keluar dari lokasi TWA Grojogan Sewu, kita akan disambut plang seperti ini. "Ohhh... jadi "sewu" itu merujuk kepada jumlah anak tangga yang harus kita tempuh demi menuju tempat ini?!", begitu pikirku saking kagetnya mengetahui bahwa kami telah menurun-naiki 1250 anak tangga. Wow, liburan super sehat!!


Pukul 17.09 WIB rombongan kecil kami kembali ke kota Solo dan bersiap untuk mengakhiri perjalanan hari pertama. Awalnya kami menargetkan untuk tiba di Solo pukul 15.00 sore hari agar masih bisa mengunjungi Keraton Solo dan museumnya, namun karena terlalu lama 'nongkrong' di Tawangmangu, kami melenceng jauh dari perkiraan. Yah, nothing's perfect sih, termasuk penyusunan jadwal & itinerary untuk jalan-jalan segeng. Hahaha, akhirnya aku harus berpuas diri dengan hanya foto-foto bagian luar keraton saja.


Sebelum mengantar Lia ke kosannya dan Putut ke rumahnya, kami singgah makan malam dahulu di Wedangan Pendhopo. Rumah berlokasi di Jl Srigading I dan II No 7 Turisari, Banjarsari, Solo ini sukses menghilangkan kecewaku yang gagal mengunjungi museum, karena.... ini adalah museum versi mini! Dimana-mana terdapat benda antik yang berasal dari awal abad 19-an dan sebagian besarnya merupakan khas Jawa Tengah. Diterangi dengan cahaya lampu kuning yang temaram, aku sibuk berkeliling dari sudut ke sudut--bahkan gayung batok kelapa di kamar mandi!--Wedangan Pendhopo mengabadikan koleksi uniknya.




Awalnya berniat makan malam, eh, kami malah hanya sekadar jajan di sini. Gorengannya nikmat sekali! Aku membeli sate pisang goreng dan risoles isi mayonnaise serta segelas teh manis hangat. Apa karena aku hanya sedang kelaparan saja, ya? Hehehe, after all, I enjoyed the place more than I enjoyed the culinary :p



Terima kasih banyak Solo dan Karanganyar untuk petualangan hari ini! Semakin jauh aku melangkah, semakin aku jatuh cinta dengan Indonesia, tanah air kebanggaan ini :) Terima kasih juga Lia yang sudah menjemput kami tengah malam di Purwosari dan terus menemani sepanjang hari ini, yay, senangnya dapat teman baru lagi! Can't wait for tomorrow!

...to be continued