Trip yang satu ini merupakan satu-satunya trip, sejauh ini, yang telah mengalami berulang kali reschedule sebelum akhirnya dapat terlaksana pada tanggal 4-8 Juni 2014 kemarin. Dimulai dari kerinduanku kepada Santi Sudarsih, teman sebangku tingkat 1 dan 2 selama kuliah di STAN, sekaligus jalan-jalan di kota asalnya: Boyolali. Rencana ini sempat tertunda karena ada ancaman status Gunung Merapi yang terus fluktuatif serta karena kesibukanku di Bintaro. Puji Tuhan, akhirnya trip ini bisa terlaksana bahkan ditemani dua anggota geng Perkasa yang lain: Fakhri Rizki Saputra dan Ni Ketut Ayuni.
Perjalanan dimulai dari Stasiun Jakarta Kota pukul 10.30 pagi menggunakan kereta ekonomi Gaya Baru Malam, dan tiba di Stasiun Purwosari sekitar pukul 21.00 malam! Ya, kawan, kami melewati 10.5 jam dalam kereta! Bagi Ayuni yang baru kali ini 'menikmati' bepergian jarak jauh dengan kereta, perjalanan benar-benar terasa menyedihkan :') *Ebiet G. Ade's song played in background*
Bersama Santi, Putut, dan Lia :) |
Di Stasiun Purwosari kami telah ditunggu dengan penuh kesabaran oleh Putut Yoga Prabowo, teman satu jurusan di kampus STAN, dan saudaranya, Amalia Pratischa. Mengetahui tamu-tamunya ini sudah sangat kelaparan, mereka segera mengajak kami ke Cafe Tiga Tjeret yang sukses membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama! Lukisan rural yang berderet di sepanjang dinding, kreasi kursi dan meja dari barang bekas, serta sajian makanan prasmanan yang lezat nan terjangkaunya adalah alasan utama kenapa aku begitu menyukai cafe ini.
Selesai makan dan hunting foto sejenak, kami pun beranjak menuju rumah Putut di Boyolali. Semakin menambah kekagumanku akan keramahan dan kebaikan keluarga Putut, kakaknya, Mas Jarot, ikut menjemput kami di cafe dengan mobilnya. Dan lagi-lagi, aku pun segera menyukai sosok Mas Jarot yang cerdas dan menyimpan banyak ilmu pengetahuan tentang sejarah-budaya Indonesia. Ya, beliau adalah seorang dosen sejarah-budaya yang sebentar lagi akan diwisuda dan meraih gelar magisternya. Keren! Mas Jarot juga menunjukkan rumah Pak Djoko Kirmanto (Menteri PU 2004) di daerah Pengging, yang juga dikenal sebagai daerah asal sang legenda, Bandung Bondowoso.
Putut's artwork, amazing! |
Well, enough with the introduction, now let's start the storytelling!
THURSDAY. 2014/06/05
Setelah berpamitan dengan keluarga Putut, kami berenam memulai tour de Central Java dengan mobil rentalan yang harga sewanya cukup menguras kocek. Destinasi pertama: Candi Ceto! Candi yang berlokasi di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kec. Jenawi ini nyaris tidak terlihat karena kabut tebal menutupi sekitarnya. Tentu saja, candi ini kan berada di ketinggian 1496 mdpl! Untuk mencapai puncak candi, kami harus menaiki ratusan anak tangga. Kompleks candi ini berlokasi di lereng barat Gunung Lawu dengan panjang 190 m dan lebar 30 m dan merupakan candi Hindu yang berbentuk punden berundak sebagaimana peninggalan zaman prasejarah. Kami tiba di lokasi ini pukul 11.00 WIB.
Masa pendirian Candi Ceto diperkirakan sekitar abad XV, didasarkan pada penemuan angka sengkalan (angka tahun) yang terpahat pada gapura teras ke-7 dengan sengkalan yang berbunyi "goh wiku hanahut ikut" (1397 Saka/1475 Masehi). Keunikan candi ini terlihat dari bentuknya yang berteras, serta arca-arca yang masih sangat sederhana dan belum menunjukkan ciri kedewaan. Berdasarkan prasasti yang ditemukan, Candi Ceto digunakan untuk ruwatan atau pembebasan. Hal ini dikaitkan dengan cerita Sudamala seperti yang terdapat pada Candi Sukuh.
Untuk masuk ke Candi Ceto, kita dikenakan retribusi sebesar Rp3.000,- per orang ditambah biaya retribusi lagi sebesar Rp5.000,- per mobil untuk memasuki wilayah pariwisata Kabupaten Karanganyar.
Can you see how thick the fog is? Dan dasar anak pantai, aku keukeuh keringetan dong disini... |
Pukul 12.30 WIB kami tiba di Candi Sukuh, yang bersuhu tidak kalah dingin dengan candi sebelumnya. Candi yang terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar ini 'hanya' terletak di ketinggian 941 mdpl jadi tidak begitu berkabut seperti halnya di Candi Ceto. Retribusi di sini sebesar Rp8.000,- per orang dan Rp5.000,- per mobil. Lebih mahal memang karena bisa dilihat bahwa pemeliharaan taman disini lebih bersih dan apik dibanding Candi Ceto. Komplek candi terdiri dari tiga teras, dan memiliki begitu banyak arca yang berasal dari berbagai cerita wayang mulai dari Garudeya hingga Rahmana.
Konon, kalau seorang gadis melompati relief di permukaan tanah ini, bisa ketahuan apakah dia perawan atau tidak. Hmm... |
Komplek Candi Sukuh teras ke-3 dilihat dari puncak candi utama |
Beranjak dari Desa Sukuh, kami pun melanjutkan perjalanan ke destinasi ketiga: Taman Wisata Alam Grojogan Sewu. Dengan 1 jam perjalanan, kami akhirnya tiba di objek wisata yang selalu ramai dipenuhi pengunjung meskipun bukan di hari libur. Ya, hari ini salah satunya. Selain untuk 'menemui' air terjun, banyak pengunjung yang datang untuk berenang di kolam renang buatan yang dibangun tidak jauh dari lokasi air terjun. Sepanjang perjalanan dari tempat parkir menuju pintu masuk utama, kami disambut oleh jejeran pedagang berbagai souvenir khas Solo, sekelompok kera yang sering muncul tiba-tiba dari balik semak-semak, serta rombongan joki yang menawarkan pengunjung menaiki kuda menuju ke air terjun yang memang cukup jauh ditempuh dengan jalan kaki. Wah, ini baru namanya tempat wisata: RAMAI! Aku sangat bersyukur karena di candi-candi sebelumnya sepi pengunjung, kalau tidak bisa-bisa kami kebingungan mencari momen yang pas untuk foto-foto. Duhh!
Kuliner khas di TWA Grojogan Sewu: sate kelinci. Visually tidak berbeda dengan sate ayam, namun dagingnya lebih alot hampir mirip daging bebek. |
TWA Grojogan Sewu terletak di Kelurahan Kalisoro dan Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, dan memiliki ukuran luas 64,3 hektare. Terletak di ketinggian +- 1100 mdpl, taman ini memiliki objek utama berupa air terjun setinggi 81 M dan 'kebun-binatang-tanpa-pagar' karena kera-kera berekor panjang, tupai, dan berbagai jenis burung berkeliaran dengan bebas di lingkungan ini. Aku sudah pengalaman melihat kesadisan kera-kera di Uluwatu, jadi sudah tahu cara menghindar dari pencopetan oleh makhluk primata ini. Readers, jangan pernah mengusik hewan yang ada di suatu tempat wisata ya. Boleh saja jika ingin berfoto bersama, atau penasaran ingin menyentuh. Tapi harus siap dengan resiko dicakar atau dikejar balik! Aku puas menertawakan beberapa pengunjung tidak berotak yang berakhir dengan lari-lari ketakutan setelah awalnya mengganggu segerombolan kera yang sedang duduk santai di pepohonan rendah. Ckckck...
Grojogan Sewu berarti air terjun seribu. Meski air terjun di sini tidak berjumlah seribu, tetapi ada beberapa titik air terjun yang dapat dinikmati di sini. Kata sewu atau seribu disini berasal dari seribu pecak, atau satuan jarak yang digunakan saat itu yang merupakan tinggi air terjun. Satu pecak sama dengan satu telapak kaki orang dewasa. Air terjun tertinggi yang ada tingginya sekitar 80 meter. Ada pula air terjun yang tidak terlalu tinggi tetapi pancurannya meluas dan membentuk cabang-cabang. Bila sedang musim hujan, sekeliling tebing akan dihujani air terjun, tetapi saat musim panas, banyak air terjun yang kering.
Akhirnya bisa memraktekkan foto air terjun seperti kapas :') |
Biasanya cuma bisa nge-freeze air terjun aja... :p |
Ketika akhirnya menginjak anak tangga terakhir untuk keluar dari lokasi TWA Grojogan Sewu, kita akan disambut plang seperti ini. "Ohhh... jadi "sewu" itu merujuk kepada jumlah anak tangga yang harus kita tempuh demi menuju tempat ini?!", begitu pikirku saking kagetnya mengetahui bahwa kami telah menurun-naiki 1250 anak tangga. Wow, liburan super sehat!!
Pukul 17.09 WIB rombongan kecil kami kembali ke kota Solo dan bersiap untuk mengakhiri perjalanan hari pertama. Awalnya kami menargetkan untuk tiba di Solo pukul 15.00 sore hari agar masih bisa mengunjungi Keraton Solo dan museumnya, namun karena terlalu lama 'nongkrong' di Tawangmangu, kami melenceng jauh dari perkiraan. Yah, nothing's perfect sih, termasuk penyusunan jadwal & itinerary untuk jalan-jalan segeng. Hahaha, akhirnya aku harus berpuas diri dengan hanya foto-foto bagian luar keraton saja.
Sebelum mengantar Lia ke kosannya dan Putut ke rumahnya, kami singgah makan malam dahulu di Wedangan Pendhopo. Rumah berlokasi di Jl Srigading I dan II No 7 Turisari, Banjarsari, Solo ini sukses menghilangkan kecewaku yang gagal mengunjungi museum, karena.... ini adalah museum versi mini! Dimana-mana terdapat benda antik yang berasal dari awal abad 19-an dan sebagian besarnya merupakan khas Jawa Tengah. Diterangi dengan cahaya lampu kuning yang temaram, aku sibuk berkeliling dari sudut ke sudut--bahkan gayung batok kelapa di kamar mandi!--Wedangan Pendhopo mengabadikan koleksi uniknya.
Awalnya berniat makan malam, eh, kami malah hanya sekadar jajan di sini. Gorengannya nikmat sekali! Aku membeli sate pisang goreng dan risoles isi mayonnaise serta segelas teh manis hangat. Apa karena aku hanya sedang kelaparan saja, ya? Hehehe, after all, I enjoyed the place more than I enjoyed the culinary :p
Terima kasih banyak Solo dan Karanganyar untuk petualangan hari ini! Semakin jauh aku melangkah, semakin aku jatuh cinta dengan Indonesia, tanah air kebanggaan ini :) Terima kasih juga Lia yang sudah menjemput kami tengah malam di Purwosari dan terus menemani sepanjang hari ini, yay, senangnya dapat teman baru lagi! Can't wait for tomorrow!
...to be continued
lanjutan ceritanya ditunggu kakak :D
ReplyDeleteoh iyaaaa untung diingetin :''') makasih kak putut, segera dilanjutkan! :)
Delete