Setibanya di Wonosobo, perjalanan kembali tersendat. Rupanya, kami tidak bisa langsung meneruskan perjalanan ke Malang! Huastagaahhh~ Padahal dalam itinerary yang kususun, perjalanan Wonosobo-Malang dapat ditempuh hanya dalam 8 jam menggunakan bis ekonomi. Entah dari mana aku mendapatkan info itu. Yang jelas, pada kenyataannya, kami harus menempuh Wonosobo-Magelang-Jogja-Jombang sebelum akhirnya bisa menginjak Malang. Inilah kenyataan hidup sebagai backpacker, alih-alih naik bis eksekutif P.O. Handoyo Magelang-Surabaya, malah akhirnya naik bis ekonomi ke Jogja yang hanya seharga Rp10.000,- itu. Jadwal pun mengalami reschedule disana-sini sehingga aku langsung menghubungi Mas Pras, pemilik jip di Malang, untuk minta maaf karena mengundurkan jadwal sehari. Readers, nanti kalian akan membaca betapa ramahnya sosok Mas Pras ini ketika kami menyambangi rumahnya sebelum & sesudah ke Bromo. Saat aku mengabari bahwa kedatangan kami diundur sehari, beliau malah menyemangati: "Gak papa Mbak, namanya juga di jalan. Semua adventure itu tetap harus mengutamakan safety." Wah, padahal aku sudah cemas nanti akan diprotes, atau kena charge, atau malah dibatalkan sepihak dari Mas Pras. Hehehe...
Beberapa jam menuju keagungan Bromo! |
Akhirnya, tibalah kami di Jogja pukul 18.40 WIB dan langsung mengadakan janji temu kangen dengan anak-anak PAPAN 2012 (Ipang, Desi, Iza, dan Wahyu) yang juga sedang nge-trip di Jogja. Di McD Malioboro kami bersepuluh nyampah dan hanya numpang selfie tanpa memesan apapun. Ya ampun, maafkan kelakuan kami yang hina ini ya wahai pegawai-pegawai McD Malioboro :''')
Lia, sang tuan rumah di Jogja, dengan begitu baik hatinya mau menemani kami nongkrong beberapa jam sambil menunggu keberangkatan bis tengah malam yang ke Jombang. Berwisata kuliner di Jogja tentu haram hukumnya kalau kita tidak makan murah meriah di angkringan atau sejenisnya. Jadilah Lia menyeret kami berlima ke House of Raminten, sebuah rumah makan terkenal di Yogyakarta yang memiliki sajian utama nasi kucing seharga Rp3.000-Rp5.000,- dengan porsi mengenyangkan. Nyamnyam! Ngapain makan di McD, ya kan? Terima kasih banyak ya Lia, nantikan kedatangan kami lagi hari Jumat besok! :*
Berangkat pukul 23.00 WIB, bis malam ini ternyata bukan bis ekonomi sesuai harapan hahaha... Tarifnya yang Rp40.000,- itu sempat membuat kami saling pandang selama beberapa detik. Ya sudahlah, toh bis Mira ini kursinya empuk serta ber-AC yang memberikan kami kenyamanan untuk tidur selama beberapa jam. Mari kita tidur!
"Jombang! Jombang!" teriakan kernet bis membangunkanku dari tidur. Kami bergegas menyambar tas masing-masing dan bersiap turun, eh tapi... kok bisnya melaju terus??? Tiba-tiba bis berhenti dan kami pun bergegas maju ke bagian pintu. Eh, lagi-lagi bis langsung berjalan setelah menurunkan seorang penumpang. Lho, kok??!! Hahaha, ternyata si kenek hanya membangunkan kami agar bersiap-siap untuk turun beberapa menit lagi. Kami yang masih belekan ini terlalu terbiasa naik metromini di Jakarta yang suka berhenti dadakan, sih~ Peristiwa kocak itu membuat kami tertawa-tawa ketika diingat lagi dalam minibus menuju Malang selanjutnya. Perjalanan Jombang-Malang ditempuh selama 3 jam.
Rizka Anggravita Pratiwi a.k.a Rizka adalah teman sekelasku dan Ipin di kelas 2A yang dengan penuh sukacita menyambut kedatangan kami di Malang. Pukul 07.30 WIB kami turun di Terminal Landungsari dan masih harus melanjutkan perjalanan ke rumah Rizka dengan dua kali naik angkot dan sekali ojek. Tak heran jika semuanya ambruk begitu tiba di rumah Rizka. Hampir dua belas jam perjalanan ditambah perut yang meronta-ronta minta diisi, tentu saja kami berada dalam keadaan kelaparan dan kurang tidur (dan bokong kesakitan karena duduk lama).
Rumah Rizka menjadi tempat transit sekaligus pertemuan dengan Asep, yang datang dari Sidoarjo, karena setelah adzan Isya nanti kami akan menuju Tumpang untuk bertemu Mas Pras yang tadi sudah disebutkan di atas.
Pembaca yang budiman, kami lagi-lagi terdzolimi oleh kelakuan sopir angkot yang tega menaikkan tarif angkot. DUUUUHHHH! Gemas sekali rasanya. Ternyata Tumpang ini adalah kawasan base camp para pendaki yang hendak naik ke Semeru, sehingga angkot-angkot di Terminal Arjosari sering sesukanya meminta tarif lebih kepada penumpang beransel yang dianggap sebagai pendaki. Ya semoga mark up Rp2.000,- itu bisa mengenyangkan perut anak-istri mereka deh.
Mas Pras, yang tidak bosan menanyai keberadaan kami via chat WA, telah menunggu di Terminal Tumpang bersama dengan Mas Paino, supir jip merah kami selama 12 jam ke depan. Kami disambut dengan begitu ramah disana. Mas Paino bahkan mau mengantarku mencari ATM BRI dan apotik sebelum mengarah ke rumah Mas Pras. Ah... sebanyak-banyaknya orang jahat di dunia ini toh masih lebih banyak orang baiknya :)
Selfie di rumah Mas Pras. Baru nyadar belum ada foto bareng beliau dan Mas Paino :( |
Aku memperoleh nomor kontak Mas Pras dari (temannya) Rizka yang juga pernah menyewanya untuk ke Bromo. Sebelumnya aku sudah hampir deal dengan pemilik jip lain yang mengenakan harga Rp1.200.000,- untuk antar jemput di Lawang (daerah rumah Rizka) dengan tujuan Pananjakan 1, Kawah Bromo, Padang Pasir, Bukit Teletubbies, dan Coban Rondo. Oh ya, sebenarnya Lely (anggota BALOK Trip lainnya) juga berencana ikut dalam trip Bromo ini. Tapi karena urusan keluarga, akhirnya dia batal ikut. Karena memesan untuk 7 orang, aku dimintai lagi Rp100.000,- sebagai biaya tambahan. Chat WA dengan Mas Pras ini terbilang cukup singkat, karena setelah aku mencoba menawar harga Rp1.500.000,- yang dimintanya untuk antar jemput Lawang, beliau memberi solusi agar kami stay di rumahnya saja sebelum menuju Bromo supaya harga sewa jip bisa sesuai dengan budget yang kusampaikan. Wow! Aku sangat bersyukur 'menemukan' Mas Pras ini setelah berbagai usaha keras merampingkan budget perjalanan sana-sini. Ternyata harga sewa jip yang mahal itu dikarenakan bensinnya yang boros, sehingga untuk antar jemput ke daerah Lawang tarifnya hingga ratusan ribu. Makanya lebih baik kami saja yang menghampiri beliau di Tumpang, toh ongkos angkotnya hanya sekitar Rp30.000,- untuk PP. Setelah mengobrol dengan ditemani teh Naga kebanggaan Mas Pras, kami diminta untuk istirahat agar fresh memulai trip keliling Bromo. Kelima cowok di ruang tengah diberikan kasur & selimut seadanya sedangkan aku boleh tidur di kamar anak-anaknya Mas Pras. God bless your family, ya, Mas! :')
Pukul 02.00 WIB, kami memulai perjalanan menuju lokasi pertama untuk melihat sunrise: Pananjakan 1. Ada kisah super menarik dan menegangkan disini, readers. Dalam perjalanan ke Pananjakan 1, kami sempat dibutakan oleh kabut tebal yang bahkan dapat membuat seorang sopir jip penguasa Bromo bertekuk lutut. Kabut tebal itu memang telah diperkirakan akan turun melihat hujan yang tiba-tiba turun di siang hari tadi, padahal sebelum-sebelumnya cuaca cerah. Benar saja, perjalanan menuju lautan pasir kami dikelilingi kabut. Awalnya masih tipis sehingga Mas Paino masih bisa melihat jalanan di depan, tapi ketebalannya tak terbendung lagi ketika kami tiba di lautan pasir, menyebabkan jip berputar-putar tanpa arah karena Mas Paino hanya mencoba meraba jalan dari bekas roda di pasir yang dilihatnya dari luar jendela.
"Mas dan Mbak pada punya GPS, nggak? Tolong dong arahin jalannya ke Cemoro Lawang," Mas Paino tiba-tiba mendapat ilham yang supercerdas. Katanya sih beliau ingat kami punya gadget yang mumpuni ketika mengobrol di rumah Mas Pras tadi. Awalnya sempat pesimis juga, mengingat aku tidak menangkap sinyal ketika perjalanan. Ternyata di lautan pasir ini sinyalnya lumayan bisa diandalkan meski bukan HSDPA. Aku, Aldo, dan Asep secara kompak menuntun Mas Paino mengarahkan setirnya untuk kembali ke jalan utama yang tertera di peta. "Kiri, Mas! Nah, lurus aja terus. Eits, eits, agak ke kiri, Mas, 45 derajat aja... baru lurus lagi!" seruan-seruan kami bergema di tengah kegelapan. Meski sempat juga menabrak semak-semak, puji Tuhan, kami bisa menapaki jalan utama dengan selamat. Mari berikan tepuk tangan meriah untuk Mas Paino, jip merah, dan kecerdasan para penemu HP dan satelit! Terima kasih, Tuhan.
Bisa selfie dengan muka ceria setelah Peristiwa Kabut yang menegangkan tadi :( |
Karena tebalnya kabut, Mas Paino mengantar kami ke Pananjakan 2, sebuah lokasi melihat sunrise lain yang letaknya lebih dekat. Jika Pananjakan 1 harus dicapai dengan menyeberangi lautan pasir, Pananjakan 2 dapat ditempuh beberapa menit berkendara dari Desa Cemoro Lawang. Desa ini adalah desa terdekat dengan Bromo yang sering menjadi tempat penginapan para wisatawan jika berangkat menggunakan minibus Elf dari terminal Purbalingga. Memang Pananjakan 1 dikenal sebagai tempat tertinggi dan terbaik untuk melihat sunrise, tapi Pananjakan 2-lah yang menjadi favorit wisatawan mancanegara karena mereka lebih mementingkan suasana tenang dan sepi agar nyaman mengambil gambar sunrise. Kami juga tidak menyesal atas keputusan ini, toh aku juga hampir menyerah ketika mendaki tangga menuju Seruni Point (nama asli Pananjakan 1). Entah kenapa, medan ini lebih susah daripada Bukit Sikunir. Padahal aku telah mengenakan pakaian terbaikku ditambah jaket yang lebih tebal, sarung tangan, dan kupluk yang lebih hangat. Puji Tuhan aku punya teman-teman yang tetap setia menyemangati dan mau menunggu agar kami menginjak puncak bersama. Benar saja, selain kami dan dua orang turis domestik, lokasi ini dipenuhi oleh bule-bule dengan berbagai bahasa dan aksen. "Oh, ini dia lokasi pengambilan gambar Gunung Bathok, Bukit Cinta, dan Kawah Bromo yang kulihat dimana-mana itu!" adalah pikiran pertama yang terlintas di kepalaku. Jika matahari terbit di sisi timur, maka keindahan panorama Kawah Bromo akan kita temukan agak ke selatan. Kami tercengang melihat betapa tebalnya kabut yang melingkupi lautan pasir. Dari atas sini terlihat jelas lampu-lampu jip yang mencoba menerobos untuk mencapai Pananjakan 1. Ya Tuhan, kami sempat berada di posisi itu! Thank God kami telah luput dari kengerian itu. Sebenarnya cara terbaik untuk bertahan dari kabut adalah dengan diam saja disana, menunggu kabut menghilang, dengan risiko melewatkan momen sunrise yang paling dinantikan.
Mungkin karena perhatian kami terpecah ke Kawah Bromo, kedatangan matahari tidak sespektakuler ketika kami di Bukit Sikunir. Namun tetap saja, keindahannya begitu memukau. Seorang bule telah menyiapkan kamera dan tripodnya untuk merekam momen kemunculan sang surya. Aku harus bisa membawa tripod di kali keduaku kesini! Hahaha, begitu banyak janji yang telah kubuat sepanjang trip ini. Optimism doesn't kill me, right?
Here comes the sunrise! |
Gak sia-sia ngajak Aldo, fotografer kesayangan terkeceh sedunia! |
Taken by a female Malaysian tourist. Thank you! :) |
Kenalan baruuuu :3 |
Sudah tak terhitung lagi keindahan yang kusaksikan selama traveling keliling Indonesia ini. Sudah tak terhitung juga berapa kali aku melontarkan pertanyaan kepada diriku sendiri, "Kapan kesini bersama that someone special?" Hahaha~ Maaf ya, readers, momen mellow dan full of longing seperti ini memang selalu menghinggapiku ketika sedang terdiam menikmati pemandangan. Toh kamera tidak selalu bisa menangkap setiap sudut memesona yang ditangkap mata. Ada saatnya kita perlu untuk duduk diam, sesekali mengobrol dengan diri sendiri, dan cukup mereguk keindahan di depan mata kita sebanyak-banyaknya. Kita tidak bisa membawa pulang apa-apa selain foto dan memori, jadi ambillah, puaskan dirimu sebanyak mungkin sebelum nanti kembali ke rutinitas yang menyita waktu dan tenaga. Suatu saat nanti, ada masanya dimana kita akan duduk berdampingan dengan seseorang yang spesial, menikmati semuanya itu bersama-sama, clasping hand and taking pictures together. Makanya, carilah seseorang yang bisa dan mau menemani kita jalan kaki sejauh mungkin, carilah seseorang yang mau menunggu kita yang telah lelah mendaki, menunggu dengan senyuman sabar dan kalimat penyemangat, carilah seseorang yang akan menceritakan kembali semua kisah kepada anak-cucu kita ketika kita sendiri mulai lupa dengan detail perjalanannya. Find someone who can give you faith to find your dreams, to complete your life's goal, to reach the destination, together.
Oke, enough. Mari kita melanjutkan cerita! Hihihi...
Pukul 06.30 WIB jip kami mencapai lokasi parkir untuk mendaki Gunung Bromo. Destinasi wisata seterkenal Taman Nasional Bromo Tengger Semeru tentu saja tidak mengenal istilah weekday-weekend. Hari Kamis, 16 Oktober, ini pun pengunjung tetap saja ramai. Para joki kuda tidak kesulitan mencari rejeki karena begitu banyak wisatawan yang memilih naik kuda untuk menempuh setengah jalur pendakian. Nah, sebelum mendaki pastikan untuk put your mask on, readers! Pasir yang berterbangan kemana-mana adalah alasan utama, namun aroma khas kotoran kuda jauh lebih menyengat dan mengganggu perjalanan kita. Kacamata juga akan menyelamatkan kita dari debu/pasir dan teriknya sinar matahari.
Rapinya deretan jip terparkir di kaki Bromo |
Debu beterbangan dimana-mana |
Mari memulai trekking menuju puncak kawah! |
Peralatan lengkap: masker, kacamata, topi! |
Judulnya memang "gunung", tapi jalur pendakiannya sangat mudah karena dibantu oleh tangga yang tinggal dinaiki satu persatu. Jika capek mendaki, liat saja ke arah kanan untuk memandang kemegahan Gunung Bathok. Atau ke belakang kita melihat barisan rapi parkiran jeep dan bukit-bukit hijau di kejauhan yang kontras dengan kelabunya lautan pasir. Apa yang ada di puncak Gunung Bromo? Tentu saja kawah berbau belerang menyengat! Kali ini baunya juga menggangguku, bukan hanya Aldo, sehingga aku tidak berani lama-lama berdiri di tepiannya. Oh ya, di atas sini kami tiba-tiba diajak foto bareng oleh sepasang bapak-ibu. Don't know why, hahaha. Tolong kabari aku ya jika kalian menemukan foto kami bersama mereka di suatu tempat :')
Lautan manusia menuju kawah |
Semangat, Kunto, menaklukkan phobia ketinggiannya! :)) |
Pemandangan kawah yang menakjubkan! |
Berhasil menaklukkan Bromo! Gunung Bathok di belakangnya megah banget ya :') |
Di depan Pura Ponten Bromo |
Makasih, Mas Paino, for taking this great picture of us! |
Pasir Berbisik. Eaakk, Kunto photo bombing banget sih! :( |
Padang Savana & Bukit Teletubbies |
Destinasi selanjutnya adalah lokasi syuting Pasir Berbisik, yang tidak begitu menarik karena kami sudah kelelahan, dan Padang Savana dengan latar belakang Bukit Teletubbies. Ranting-ranting kering seperti ini saja bisa membentuk panorama menakjubkan, memang Tuhan kita luar biasa ya readers! Selepas dari sini, kami pun diantar ke Coban Pelangi, salah satu lokasi air terjun yang letaknya tidak jauh dari kawasan TNBTS.
Coban Pelangi |
Perjalanan kami sebenarnya sudah selesai jam dua siang. Tapi karena keramahan Mas Pras yang tidak bisa kutolak, kami akhirnya lanjut lagi bercengkerama selama satu jam. Duh, maafkan aku ya teman-teman yang lain. Aku memang gemar menggali cerita dan pengalaman hingga lupa waktu :( Kami lalu diantarkan kembali ke Terminal Tumpang untuk ngangkot kembali ke rumah Rizka. Terima kasih banyak Mas Pras dan Mas Paino untuk SEMUANYA! You guys are the real MVP! Sampai jumpa lagi untuk kedua kalinya, semoga nanti rute perjalananku adalah untuk menaklukkan puncak Gunung Semeru. Amin! Di Terminal Arjosari kami juga berpisah dengan Asep yang sudah punya rencana lain di Malang. Terima kasih banyak ya, Sep, akhirnya kecapaian juga nge-trip bareng! Harus ada kali kedua dan seterusnya, ya, mungkin ke taman-taman nasional di Indonesia? Hehehe...
Thank you, Asep!! :* |
Kami melewatkan malam terakhir di Malang dengan menginap di rumah Rizka lagi. Dengan selesainya pendakian Bromo ini, aku pun bisa meletakkan jaket tebal-sarung tangan-kupluk-sepatu di dasar tas karena tidak akan terpakai lagi. Besok kami akan melewatkan hari-hari dengan menghitamkan diri di suhu udara normal! YEAY! Malam ini kakak Rizka, Mbak Rizki, dan anaknya yang lucu luar biasa, Meci, akan tiba dari Balikpapan, jadi para lelaki harus melipir pindah tidur ke ruang tengah, sementara aku masih mengusik ketenangan Rizka di kamar tidurnya, hohoho~
Jumat, 17 Oktober 2014, kami pamit meninggalkan rumah Rizka dan keramahan keluarga besarnya. Terima kasih banyak Bapak, Ibu, Rizka, Hendra, dan semuanya yang sudah menyambut kami dengan tangan terbuka. Tuhan memberkati!
Transit di Surabaya, sempat-sempatnya foto di depan Monumen Kapal Selam |
Sebelum menuju Jogjakarta (lagi), rombongan kami diantar Bapak Rizka ke Stasiun Lawang untuk naik KA Penataran menuju Surabaya. Tiba di stasiun pukul 10.00 WIB, kami menghabiskan waktu di McD (lagi-lagi) yang bisa ditempuh dengan jalan kaki dari Gubeng. Perjalanan kami ke Jogjakarta menggunakan KA Gaya Baru Malam akan berangkat jam dua belas siang. Akibat pengunduran jadwal jalan-jalan Bromo, jadinya kami juga mengganti kereta yang sebelumnya sudah dipesan untuk hari Kamis kemarin. Ya sudahlah. Pengalaman baru, Bung! Kami berpisah dengan Ipin di atas kereta, karena dia tidak ikut ke Jogja dan langsung turun di Stasiun Sragen, empat perhentian sebelum Lempuyangan. Terima kasih banyak, Ipin! Tanpa kamu, kami tidak akan punya bendahara dan juru bicara (berbahasa Jawa Kromo) yang andal! Sampai jumpa di trip selanjutnya! :*
PS. Thanks to Arya Wiryawan, teman seperjuangan di kampus STAN, yang sudah meladeni kepanikanku ketika tahu harus terdampar di Magelang. Sukses bisnisnya ya, Yak! :)
PPS. Daftar pengeluaran Wonosobo-Surabaya
Angkot ke Term. Mendolo Rp2.000
Bus ke Magelang Rp10.000
Bus ke Jogja Rp10.000
TransJogja ke Malioboro Rp3.000
makan malam di Raminten* Rp19.000
Bus ke Jombang Rp40.000
Bus ke Malang Rp18.000
Angkot AL ke Arjosari Rp4.000
Angkot LA ke Lawang Rp3.000
Ojek ke rumah Rizka Rp3.000
Angkot AL & TA (Tumpang) Rp13.000
beli obat* Rp13.000
Sewa Jeep Mas Pras Rp150.000
Tiket TNBTS-Coban Pelangi Rp35.000
beli aqua 1L* Rp8.000
tip untuk Mas Paino* Rp20.000
Angkot TA ke Arjosari Rp8.000
Angkot LA dan ojek Rp6.000
Tiket KA Penataran Rp5.500
Tiket KA Gaya Baru Malam Rp55.000
charge reschedule tiket* Rp18.000
makan siang di McD* Rp25.000
TOTAL fixed cost Rp365.500
Total FC & Personal Cost(*) Rp468.500
Total biaya trip: Rp217.000 + 365.500 = Rp582.500,-
ninggalin jejak. keren kak! semoga bisa ke bromo.
ReplyDeleteMakasih, anon :) semangat! Jangan malu bertanya biar gak sesat di jalan hehehe *pengalaman*
Delete