Trip Korea Selatan tahun lalu memberiku satu "wishlist" tambahan dalam hidup ini: mengajak Mama nge-trip bareng setahun sekali. Kebahagiaan yang muncul setiap melihat ulang foto-foto penuh keceriaan Mama di Korea Selatan... rasanya adiktif sekali. Aku mau lagi. Mau menciptakan kenangan yang lebih banyak lagi. Mau mengunjungi negara lain dengan beliau lagi.
Thank God, tahun ini impianku diwujudkan Tuhan: mengajak Mama berburu Sakura ke Jepang. Kalian yang sudah membaca trip review Korea Selatan diatas pasti tahu bahwa "Mama" dan "taman" adalah dua hal yang berkaitan erat. Makanya, "mengunjungi Jepang saat Sakura" jadi doa yang tak pernah absen kuucapkan sejak awal 2017. Oh ya, tak lupa juga kuucapkan terima kasih untuk Bang Adi yang selalu jadi saluran mujizat dalam bentuk tiket promo impian. Maaf ya, Bang, aku belum berhasil mencarikan tumblr Starbucks motif Sakura 😙
Disclaimer: trip ini penuh kekonyolan imbas dari kurangnya riset selama persiapan, padahal ini kali pertamaku menjadi "tour guide". Saran untuk Readers sekalian: jangan tiru mentah-mentah itinerary-nya, ambil aja beberapa intisari kayak pilihan destinasi (tentunya based on the pictures) dan transportasi menuju kesana. Lalu, nikmati aja trip review ini sebagai penghibur disaat capek atau suntuk melanda kalian. Hehehe.
DAY 0. THE BEGINNING.
Jadi apa aja persiapan untuk Japan spring trip ini?
- Tiket sebenarnya sudah terbeli sejak akhir Januari, tapi aku yang (sok) sibuk ini malah menunda-nunda pengurusan visa karena banyaknya kerjaan di Februari lalu. Nasib pelaksana tunggal, kerja ngalah-ngalahin kejar setoran tax amnesty deh. In the end... ya gitu deh... sudah kuceritakan di post satu ini 😔Readers jangan meniru 'kemalasan'-ku ini yaaa, segeralah urus visa begitu memasuki H-3 bulan perjalanan, biar bebas drama dan beban pikiran.
- Penyusunan itinerary. Selain "sakura" sebagai agenda utama, aku juga ingin banget mengajak si Emak menjajal shinkansen. Jadilah itinerary-ku berpusat pada penggunaan JR Pass, yaitu dengan rute Narita-Tokyo-Osaka-Kyoto-Osaka-Tokyo-Narita, biar nggak rugi gitu beli kartu pass 3,5 juta IDR. Aku menyusun itinerary selonggar mungkin, mengingat si Emak bukan tipe traveler yang mengejar kuantitas destinasi. Yang penting cukuplah melihat sakura dalam setiap hari trip. Sisanya? Cukup dua-tiga destinasi tambahan.
JR Pass bukan hanya untuk shinkansen lho, tapi juga untuk kereta biasa yang dioperasikan perusahaan JR Group |
Untuk hotel pastinya aku menggunakan situs Booking.com yang unggul dengan fasilitas "free cancellation"-nya. Dengan fasilitas ini kita bisa book penginapan sebanyak-banyaknya, tapi jangan lupa di-cancel (bebas biaya!) saat sudah mantap dengan satu pilihan hotel, atau saat dua minggu sebelum hari menginap. Jangan kayak aku yang sering kecele lupa meng-cancel dan berbuah biaya pembatalan hahaha.- Yang paling terakhir kubeli adalah tiket pulang-pergi Singapura, negara yang menjadi titik awal tiket promoku. Sayangnya, Coldplay entah kenapa memilih mengadakan konser di saat yang bersamaan dengan jadwal trip-ku. Harga tiket rata-rata melonjak dua kali lipat harga normal, aku pun terpaksa mengundurkan jadwal satu hari lebih lambat karena tiket pulang tanggal 3 April yang mencapai 2 juta IDR. Gilak. Orang Indonesia semua 'migrasi' demi Coldplay ya?
- Last but not least... malah "yang paling penting" sebenarnya, hehehe: outfit selama di Jepang! Hanya si Emak yang bisa bikin seorang Erlin jadi seutuhnya gadis pas lagi traveling hahaha. Kostum yang menarik, aksesoris yang menunjang, bahkan... ehm, ada deh pokoknya sesuatu yang berubah dariku hahaha. Lihat saja di foto-foto trip ini 👩👩 Pokoknya, jalan berdua Mama akan selalu jadi fashionable trip dan hasil foto-fotonya selalu bikin eyegasm. Mama is the best, deh.
Fashion stylist: Mama |
Tuh kan, orangnya aja kece dashyat 😍 |
DAY 1. 29 MARCH. JAKARTA-SINGAPORE.
Perjalanan kami dimulai dengan penerbangan Batik Air jam 6 sore menuju Singapura, negara awal tiket promo kami. Sayangnya, kali ini aku tidak berhasil menemukan tiket murah, all thanks to Coldplay yang bisa-bisanya ngadain konser bertepatan dengan waktu trip-ku hahaha. Penerbangan ke Singapura saat itu benar-benar dipenuhi calon penonton konser Coldplay. Harga tiket kami 2 juta-an IDR untuk returns flight CGK-SIN dengan maskapai Batik Air. Itu pun terbantu promo diskon 100 ribu IDR dari Traveloka.
Tiba pukul 21.10 waktu setempat (GMT+8), aku dan Mama harus menunggu beberapa jam hingga penerbangan kami selanjutnya ke... Filipina! Kok bisa? Soalnya kami menggunakan Philippine Airlines, otomatis keberangkatan dimulai dari negara tetangga itu. Sambil menunggu counter PA buka untuk drop luggage aku dan Mama foto-foto di sekitaran bandara yang memang terkenal canggih dan keren itu.
Sudah jam 00.45, counter PA belum juga dibuka - antrian pun mengular |
DAY 2. 30 MARCH. SINGAPORE-CEBU-TOKYO-OSAKA.
Tepat pukul 02:45 pesawat kami mengudara. Aku kebagian kursi yang berbeda dengan Mama, pasalnya Mama selalu prefer duduk di aisle, sementara kursi bagian aisle paling depan tidak ada yang berdekatan kosongnya. Aku pun kebagian kursi dekat emergency door yang juga tempat duduk pramugari/a saat take-off/landing. Penerbangan beberapa kali diserang turbulensi, membuatku cemas akan kabar Mama yang duduk beberapa deret di belakangku. Pesawat akhirnya mendarat di Mactan-Cebu International Airport pada pukul 06.16 (GMT+8).
Seperti connecting flight (dengan pembelian tiket dalam satu kode booking) pada umumnya, transit di Cebu kali ini juga terbilang mudah. Sudah ada staf Philippine Airlines menunggu para penumpang transit di ujung garbarata, siap mengarahkan hingga departure gate menuju pesawat kami selanjutnya ke Narita.
Pengalaman menarik disini adalah penumpang transit diminta untuk membayar... sejenis terminal fee/travel tax (?) sebesar 750 Philippine Peso (PHP). Sebagian besar penumpang lain, sepertiku, tidak punya peso jadi kami mengantri untuk menukar mata uang masing-masing ke peso di suatu counter penukaran uang setelah imigrasi kedatangan. Counter ini tidak memiliki kurs untuk rupiah, padahal kan negara kita tetanggaan langsung :( Jadinya kami menukar 4.000 yen untuk mendapat 1.800 peso. Menurut salah seorang penumpang lain, Filipina memang masih menerapkan terminal fee/travel tax semacam ini, even untuk penumpang transit. Kalau di Cebu biayanya 750 PHP, di bandara Manila konon hanya 500 PHP saja. ''Unik" ya.
Lesson learned: bawa mata uang selain rupiah saat kamu traveling ke luar negeri. Either mata uang dollar (US$), euro (€), atau mata uang negara tujuanmu. Pernah saat ke Pattaya aku tidak menukar baht (THB) terlebih dahulu di Indonesia, dengan anggapan toh bisa tarik tunai setibanya di sana. Sebaiknya tetap berjaga-jaga ya, kawan.
Pesawat kami selanjutnya lepas landas pukul 08.00 (GMT+8). Kali ini aku duduk bersebelahan Mama dalam pesawat. Untunglah, soalnya flight kali ini lebih banyak turbulensi dari yang sebelumnya. Aku jadi bisa menenangkan Mama yang memang tidak suka terbang di malam hari dan saat cuaca buruk karena pasti penuh awan. Setelah 4,5 jam penuh goncangan di udara, tibalah kami di Narita International Airport Terminal 2 pukul 13.40 (GMT+9). Akhirnyaaa! Nah, berbeda dengan cerita yang beredar di grup Facebook Backpacker Dunia, proses imigrasi untuk aku dan Mama terbilang lanjtar djaja. Tanpa kendala. Padahal aku sudah menyiapkan bukti penginapan, pembelian JR Pass, dan tiket pulang dari Jepang, in case kami terkena random check yang beberapa bulan lalu sering dialami traveler asal Indonesia. Random check ini dipicu kasus pencopetan oleh beberapa anak muda Indonesia kepada seorang nenek pribumi Jepang. Dari sini juga ketahuan bahwa banyak orang Indonesia datang ke Jepang sebagai TKI ilegal. Makanya otoritas bandara Jepang semakin memperketat pemeriksaan terhadap turis Indonesia, terutama laki-laki usia kerja (18-30 tahun) yang datang tanpa keluarga. Thanks to para anggota grup BD juga sih, kami jadi mempersiapkan diri melewati pemeriksaan imigrasi. Tidak berkelakuan 'norak' dan berpakaian rapi adalah salah satu kunci agar bebas dari random check.
Tugas pertama begitu tiba di Narita adalah menukarkan JR Pass ke kantor JR yang terletak di level B2 Terminal 2. Setelah nanya kesana-sini dan sempet muter-muter sejenak, akhirnya JR Pass berhasil kami peroleh. Mbak Staf yang baik hati juga sekalian mencetak tiket untuk Narita Express menuju Stasiun Shinagawa kemudian berganti shinkansen ke Stasiun Shin-Osaka. Nyaman banget deh pake fasilitas JR Pass ini, sebanding dengan harganya yang selangit.
Aku meminta Mbak Staf tadi mem-book kursi shinkansen di deret D & E, sesuai saran berbagai situs, agar bisa melihat Gunung Fuji dan puas memotretnya. Mama berhasil memotret sang gunung megah yang hari itu lagi mood untuk menampakkan dirinya di tengah kelabunya langit Jepang. Puji Tuhan keputusan naik shinkansen berbuah manis. Yah walaupun aku sendiri malah ketiduran dibuai kursi nyaman yang bisa fully tilted, jauh berbeda dengan kursi pesawat Philippine Airlines di dua penerbangan sebelumnya hahaha.
Dari Stasiun Shin-Osaka kami berganti kereta dua kali (transit Umeda St.) menuju Stasiun Namba, untuk mencapai hostel pertama kami di Jepang: Fuku Hostel Namba. Aku memilih hostel ini berdasarkan rekomendasi Andreas, seorang teman sesama STANers, makasih ya Ndre! Fuku Hostel dapat dicapai 5 menit dari exit 21 Namba St. Kami yang membawa koper tidak perlu khawatir karena ada fasilitas eskalator di exit ini serta elevator gedung untuk mencapai si hostel yang terletak di lantai 3. Mudah banget deh.
Staf hostelnya sangat helpful dan ramah. Mereka memberikan bunk beds di pojokan yang memberi akses mudah bagi kami untuk membongkar koper. Mama tidur di bawah dan aku, yang memang dasarnya suka memanjat naik bunk bed, tidur di kasur atas. Seandainya tidak ada kasus "kongkow berisik tengah malam" aku pasti akan memberi review bintang lima di TripAdvisor. Pasalnya peraturan "don't make noise after 10 p.m." itu dilanggar oleh stafnya sendiri yang mengajak kawan-kawannya kumpul di ruang tengah hostel hingga hampir jam 12. Afterall sih aku akan tetap merekomendasikan hostel ini untuk Readers yang berniat cari penginapan di Namba.
Kereta NEX dari Narita ke Shinagawa |
Aku meminta Mbak Staf tadi mem-book kursi shinkansen di deret D & E, sesuai saran berbagai situs, agar bisa melihat Gunung Fuji dan puas memotretnya. Mama berhasil memotret sang gunung megah yang hari itu lagi mood untuk menampakkan dirinya di tengah kelabunya langit Jepang. Puji Tuhan keputusan naik shinkansen berbuah manis. Yah walaupun aku sendiri malah ketiduran dibuai kursi nyaman yang bisa fully tilted, jauh berbeda dengan kursi pesawat Philippine Airlines di dua penerbangan sebelumnya hahaha.
Dari Stasiun Shin-Osaka kami berganti kereta dua kali (transit Umeda St.) menuju Stasiun Namba, untuk mencapai hostel pertama kami di Jepang: Fuku Hostel Namba. Aku memilih hostel ini berdasarkan rekomendasi Andreas, seorang teman sesama STANers, makasih ya Ndre! Fuku Hostel dapat dicapai 5 menit dari exit 21 Namba St. Kami yang membawa koper tidak perlu khawatir karena ada fasilitas eskalator di exit ini serta elevator gedung untuk mencapai si hostel yang terletak di lantai 3. Mudah banget deh.
Staf hostelnya sangat helpful dan ramah. Mereka memberikan bunk beds di pojokan yang memberi akses mudah bagi kami untuk membongkar koper. Mama tidur di bawah dan aku, yang memang dasarnya suka memanjat naik bunk bed, tidur di kasur atas. Seandainya tidak ada kasus "kongkow berisik tengah malam" aku pasti akan memberi review bintang lima di TripAdvisor. Pasalnya peraturan "don't make noise after 10 p.m." itu dilanggar oleh stafnya sendiri yang mengajak kawan-kawannya kumpul di ruang tengah hostel hingga hampir jam 12. Afterall sih aku akan tetap merekomendasikan hostel ini untuk Readers yang berniat cari penginapan di Namba.
DAY 3. 31 MARCH. OSAKA-KYOTO.
Dek, katanya Facebook hari ini bakal hujan lho.
Hari ini dimulai dengan satu kalimat dari Mama yang langsung bikin nyesek bin puyeng bin gundah gulana. Aku benar-benar lupa mengecek suhu di Jepang dari jauh-jauh hari, readers. Padahal biasanya persiapanku cukup matang, ada pengecekan suhu lewat situs atau aplikasi weather forecast, seperti yang kulakukan waktu ke KorSel dan Turki. Duh. Bisa-bisanya hujan menyambut kami di hari pertama pesiar.
Belum pun hujan, detik pertama menginjakkan kaki ke luar hostel aku langsung diserang hipotermia. Eh. Nggak ding, becanda. Tapi dinginnya itu benar-benar dingin menusuk kalbu, bukan tulang doang. 6 derajat celsius saja, kawan-kawan! Pantasan saja jaket tebal yang saat itu kupakai nggak sanggup memberi kehangatan. Begitu turun di Stasiun JR Inari, hujan gerimis menyambut kami. Aku memang sudah membawa payung kesayangan dari Jakarta, tapi Mama enggak. Mengantrilah aku di minimarket samping stasiun yang saat itu sudah diserbu pengunjung Fushimi Inari, juga untuk membeli payung. Laris manis ya, hujan membawa berkah.
Fushimi Inari yang di hari biasa selalu ramai pengunjung, jadi semakin ramai karena hujan memaksa beberapa pengunjung untuk berteduh. Kehadiran payung-payung di sekitar pun semakin menambah ramai. Argh, sekian detik aku terserang trauma dari Windows of the World, Shenzhen. Sudah jauh-jauh kesini, marilah kita manfaatkan kesempatan yang ada.
Payung bertebaran |
Paper crane dan berbagai simbol |
My love |
Walk like a boss :) |
Ada pertunjukkan atau sejenis ritual. Harusnya gak boleh difoto sih |
Kuil Fushimi Inari (伏見稲荷大社) adalah salah satu kuil Shinto yang terkenal di penjuru Kyoto bahkan Jepang. Inari (稲荷) adalah salah satu dewa (kami) dalam kepercayaan Jepang, dan kuil yang memuliakan dewa Inari disebut "kuil Inari", salah satunya ya Fushimi Inari ini. Dalam bahasa Jepang sendiri, Ine (稲) berarti “tanaman padi”, sehingga dewa Inari erat kaitannya sebagai dewa kesuburan padi/agrikultur pada umumnya. Kalian akan melihat banyak patung berbentuk rubah disini, sebabnya rubah dipercaya sebagai pembawa pesan dewa Inari. Kuil ini pada abad ke-8 didedikasikan untuk para dewa nasi dan sake, namun seiring pudarnya peran pertanian dalam kehidupan masyarakat, peran dewa pun berganti untuk kemakmuran bisnis dan usaha.
Fushimi Inari terkenal dengan 5.000 gerbang torii oranye yang berjejer sepanjang bukit belakang kuil, readers nggak asing kan dengan foto berlatar lorong dengan deretan kayu oranye? Atau malah kalian sudah duluan pasang Profile Picture di Fushimi Inari ini? 😍 Jejeran gerbang torii ini setiap satuannya berasal dari sumbangan individu maupun perusahaan, berarti ada sekitar ribuan donatur yang turut mendukung popularitas tempat wisata ini. Nama setiap donatur pun tertera di tiap torii. Penting banget sih mengingat harga setiap torii ini mencapai 400.000 yen alias 48 juta IDR! Ada yang berminat bikin torii tunnels kayak Fushimi Inari ini? *smirk*
We decided to skip these long queue entering for torii tunnels |
Sok-sokan lepas payung biar bisa foto kece, eh ternyata si hujan lumayan deras |
Jika mengikuti itinerary, selanjutnya aku akan membawa Mama ke Arashiyama Bamboo Groove dan Gion. Tapi entah gimana ceritanya, kami tahu-tahu berada di dalam kereta yang menuju Nara, bukannya kembali ke Stasiun Kyoto. Mau turun di stasiun selanjutnya untuk berpindah jalur, eh, badan kami sudah terlanjur lekat ke kursi. Terlalu menikmati penghangat kereta, kami tak mau merasakan suhu dingin di luar sana. Setelah satu menit diskusi, Mama pun setuju untuk kami tetap di dalam kereta sampai perhentian terakhir. In other words, destinasi kami selanjutnya adalah Nara.
Kesalahan fatal di sini adalah aku tidak memperhatikan bahwa kereta yang kami naiki ini bukan kereta cepat. Kami menghabiskan waktu satu jam sendiri untuk menuju Nara. Sayang betul. Tapi di saat aku gelisah karena... kok everything seemed to be uncontrollable? Mama di sampingku malah tetap antusias. Dia asyik melihat-lihat hasil foto di Fushimi Inari tadi. Ah, bahagia itu sesungguhnya sangat sederhana. Aku terlalu sering membiarkan beban pikiran menghantuiku.
Sekali kesempatan, aku mengajak Mama turun di suatu stasiun karena sempat melihat betapa cantik pemandangan ladang/bukit di latar belakang stasiun itu. Hahaha. Kocak sekali. Kami sempat lupa bahwa di luar masih dingin, toh tetap dengan ceria kami lompat turun di stasiun tersebut, bahkan beberapa kali mengambil foto narsis. 😆 Keputusan impulsif ini tidak aku sesali. Aku justru menyesal jika mengingat-ingat di Seoul dulu kami pernah mengalami hal serupa, tapi tidak turun di stasiun yang cantik itu. Mesin waktu Doraemon manaaa?
Random banget, turun cuma karena liat view di belakang ini hahaha |
Stasiun bergaya kuno. "Kayak Manggarai, De," kalo kata si Emak hahaha |
Makan siang kami lewatkan di salah satu restoran di Stasiun Nara. Saking butuh penghangat ruangan, aku dan Mama tidak keberatan dengan harga udon yang mencapai 100 ribu IDR. Rasanya? Lumayan lah. Kata Mama, makanan Jepang lebih edible bagi seleranya dibandingkan makanan Korea. Setuju.
Selesai makan siang, kami menjelajahi Stasiun Nara untuk mencari tahu cara menuju destinasi wisata terdekat. Untunglah ada information center di luar stasiun yang super duper hangat! Ah, harusnya kami menghangatkan diri di sini saja ya, daripada stay longer di restoran tadi. Sekalian baca-baca informasi tempat wisata di Nara. Para stafnya pun ramah banget, khas orang Jepang yang emang murah senyum dan helpful, walau ada keterbatasan Bahasa Inggris tetap saja informasi yang aku dapatkan sangat membantu. Seorang staf perempuan paruh baya mengarahkan kami untuk naik bus A1 yang menuju Isuien Garden.
Long story short, aku dan Mama malah menghabiskan waktu di Nara Park yang punya ratusan rusa berkeliaran bebas di antara para turis. Ehm... atau "turis yang berkeliaran di antara rusa" ya?
Dalam keyakinan Shinto, rusa adalah pembawa pesan para dewa, makanya hewan cantik yang diperkirakan berjumlah 1.200 di seluruh Nara ini menjadi simbol kota dan didapuk sebagai natural treasure. Rusa-rusa ini jinak banget, readers, yah tapi tetap bisa jadi lumayan agresif kalau dia tahu kita mau ngasih mereka makanan. Deer's crackers banyak dijual di sekitar taman dengan harga sekitar 100 yen. Beberapa rusa bahkan menguasai trik menundukkan kepala sebagai tanda minta makanan. Pintar ya. Tapi ingat, jangan kelamaan disuruh nunduk-nunduk... rusanya bisa capek/bosan dan jadi agresif menyeruduk agar cepat disuapin crackers.
Hello, deary deer! |
Dalam keyakinan Shinto, rusa adalah pembawa pesan para dewa, makanya hewan cantik yang diperkirakan berjumlah 1.200 di seluruh Nara ini menjadi simbol kota dan didapuk sebagai natural treasure. Rusa-rusa ini jinak banget, readers, yah tapi tetap bisa jadi lumayan agresif kalau dia tahu kita mau ngasih mereka makanan. Deer's crackers banyak dijual di sekitar taman dengan harga sekitar 100 yen. Beberapa rusa bahkan menguasai trik menundukkan kepala sebagai tanda minta makanan. Pintar ya. Tapi ingat, jangan kelamaan disuruh nunduk-nunduk... rusanya bisa capek/bosan dan jadi agresif menyeruduk agar cepat disuapin crackers.
Aslinya nyium tanganku yang bau makanan, tapi di foto keliatan bonding banget ya :3 |
Endus-endus |
I HEART YOU |
"Minta makan dong, Tantee~" |
Nara Park (奈良公園) adalah suatu taman luas di tengah kota Nara yang berdiri sejak 1880. Taman ini menjadi salah satu tujuan wisata utama karena di dalamnya terdapat Kuil Todaiji, Kasuga Taisha, Kofukuji, dan Museum Nasional Nara. Awalnya sih pengen sekalian masuk ke Todaiji tapi keinginan jalan-jalan kalah kuat sama badan yang udah kedinginan.
Kami memutuskan pulang setelah puas main (dan foto-foto) di Nara Park. Banyak kisah seru terjadi selanjutnya. Antara "seru", "kocak", dan "konyol" sih. Hahaha. Maafkan anakmu ini, Ma, yang belum expert dalam menjadi guide. Jadi ceritanya... kami sudah naik bus dari Nara Park untuk menuju Stasiun Kintetsu Nara. Eh, baru beberapa meter bus bergerak, kami melihat kuil di sisi kanan jalan yang dipenuhi Sakura. Aaaah! Nyesel banget, tahu gitu kan kami bisa jalan sedikit lagi dari taman untuk foto bersama pohon Sakura perdana.
Difotoin sama geng anak muda asal Indonesia. Kece ya hasilnya |
Pasti musim gugur nanti pemandangannya lebih bagus |
Sumringah tiap ketemu bunga |
Kalau lagi malas jalan, ada becak tradisional Jepang nih |
Jadi inget lagu "Sepasang rusa dilanda asmara~" |
Pengennya sih es krim, apa daya tubuh malah minta hot matcha tea |
Ketemu sakura di gedung dekat taman Nara |
"Mau turun lagi nggak, Ma?" tanyaku pada Mama dengan nada penuh penyesalan. Mama terlihat ragu-ragu. Dari raut wajahnya terbaca, beliau ingin balik ke kuil tadi. Maka kuputuskan untuk berhenti di halte selanjutnya demi balik ke kuil tadi. Ealah, ternyata halte selanjutnya jauh dari Nara Park. Berbeda dengan perkiraanku, tidak ada halte bus di seberang jalan yang bisa membawa kami ke Nara Park, alias kami harus menempuh rute memutar lagi. Hal ini pun baru aku sadari saat aku mengajak Mama turun di halte setelah Stasiun Kintetsu Nara. Lho, kok??? Iya, kami kelewatan berhenti di stasiun itu dan justru memilih turun di halte setelahnya, dengan anggapan bisa naik bis rute sebaliknya ke stasiun. Jreng, jreng~ ternyata tidak ada.
Biar haltenya kelewat, kesempatan foto pas ada taman cantik gak boleh terlewatkan |
Jalan kaki lah kami ke arah bus tadi, melihat kemana kaki akan membawa kami. "JR Nara Stasiun" terpampang besar di papan petunjuk di kejauhan. Lho... malah balik ke stasiun awal tadi. Fixed ini mestikung. Dari sini kami putuskan kembali naik bus yang sama, lalu menuju kuil penuh Sakura yang terlewat tadi. Hahaha. Semua 'kekonyolan' ini kami lakukan di tengah-tengah hujan yang masih saja awet gerimis dari pagi. DINGIN BANGET! AAAAK.
Begitu turun dari bus, mataku langsung terpaku pada suatu bangunan tidak jauh dari halte. Namanya Nara National Museum (奈良国立博物館), sebuah museum seni yang utamanya menampilkan seni Japanese Buddhist. Bangunannya sangat menarik karena sejak didirikan pada 1889 tidak pernah mengalami perubahan arsitektur, hanya ditambahkan beberapa bagian yang terhubung lewat jalan bawah tanah. Sayangnya museum sudah tutup, aku sang Ratu Museum terpaksa hanya memuaskan hasrat bermuseum lewat foto-foto ala kadarnya di depan bangunan apik ini.
Begitu turun dari bus, mataku langsung terpaku pada suatu bangunan tidak jauh dari halte. Namanya Nara National Museum (奈良国立博物館), sebuah museum seni yang utamanya menampilkan seni Japanese Buddhist. Bangunannya sangat menarik karena sejak didirikan pada 1889 tidak pernah mengalami perubahan arsitektur, hanya ditambahkan beberapa bagian yang terhubung lewat jalan bawah tanah. Sayangnya museum sudah tutup, aku sang Ratu Museum terpaksa hanya memuaskan hasrat bermuseum lewat foto-foto ala kadarnya di depan bangunan apik ini.
Himuro Shrine (氷室神社) sepi banget saat kami tiba. Yaeyalaaaah~ wong menjelang tutup kok hahaha. Hujan sama sekali tidak jadi penghalang bagi kami dan beberapa pengunjung lainnya yang masih berkeliaran di kuil Shinto satu ini. Kami semata tertarik dengan shidarezakura a.k.a weeping cherry tree a.k.a pohon Sakura yang (terlihat seperti) menangis karena cabang-cabangnya terkulai ke arah tanah. (Klik disini untuk melihat tipe-tipe Sakura)
Bagus banget deh sampe pada bela-belain antri untuk foto di bawah pohon ini. Salah satu taman yang terkenal dengan shidarezakura adalah Maruyama Park di sisi lain Kyoto.
Bagus banget deh sampe pada bela-belain antri untuk foto di bawah pohon ini. Salah satu taman yang terkenal dengan shidarezakura adalah Maruyama Park di sisi lain Kyoto.
Kuil Himuro memang terkenal di seluruh Nara berkat shidarezakura-nya. Kami saja kaget kok bisa di tengah dinginnya Kyoto, bahkan saat sakura belum banyak bermekaran di kota ini, pohon Sakura Himuro bisa mekar begitu indahnya. Pohon ini tumbuh di bagian depan aula utama kuil, dipercaya menuntun para dewa pegunungan menuju area sekitar. Saat hari sudah gelap nanti, ada lilin-lilin dinyalakan sepanjang halaman menuju kaki pohon shidarezakura.
Kami pulang ke Osaka start dari Stasiun Kintetsu Nara, kali ini tidak salah turun halte dong. Tapiiiii... akibat kurang teliti ngecek Hyperdia, aku justru salah memilih kereta! Alih-alih kereta biasa yang kugunakan dari Kyoto (yang berangkatnya start JR Nara St.), kereta yang kami gunakan kali ini adalah kereta mahal nan luxurious seharga 1.130 yen alias 135.600 IDR! Hahaha. Jackpot banget kan. Aku puas menertawakan diri sendiri dalam hati. Lin, Lin... tour guide macem apa kamu. Untungnya sih kereta ini memang lebih cepat, hanya 1 jam kami sudah tiba di Stasiun Shin-Osaka. "Ada uang ada rupa" banget ya.
Sebelum masuk ke hostel, aku dan Mama singgah dahulu ke Family Mart yang terletak persis depan Fuku Hostel Namba. Ketagihan dengan onigirinya, untuk sarapan besok pagi pun kami memilih onigiri tuna yang sama. Kali ini ditambah beberapa buah roti untuk makan malam extra-irit hari ini.
Sementara pilih-pilih roti, Mama menyapa seorang Mbak-mbak yang ternyata orang Indonesia juga dan menginap di hostel yang sama. Wah, jodoh betul. Mbak ini sempat berbagi tips dan trik: kalau sudah jam 9 malam, Family Mart biasanya memberikan diskon untuk makanan siap saji. Ah! Wajib mencoba trik ini ah next time ke Jepang. Doski juga berbagi ilmu, kalau mau lebih irit lagi hidup di Jepang, cukup bawa sebungkus abon dan rice cooker, lalu masak nasi yang dibeli sachet-an di minimarket, harga nasi sachet ini cuma 400-500 yen lho gimana nggak hemat banget tuh jadinya? Trik yang ini penting terutama untuk teman-teman yang berpantang makanan non-halal, tahu kan kalau Jepang terkenal memakai minyak babi dalam hidangannya?
Saat di Fushimi Inari tadi, berharap onigiri bisa memperkuat ketahanan tubuh terhadap dinginnya Kyoto |
Ternyata Mbak-Family-Mart tadi nggak sendirian, dong... ada satu lagi teman perempuannya yang usut punya usut kerja di Kemenkeu juga. Wow, ketemu senior jauh. Kantornya hanya di seberang Jalan Wahidin sana pula. Mbak -- aku lupa namanya -- Senior ini cerita banyak tentang pengalaman traveling dia, salah satunya trip Jepang ini yang merupakan test-drive. Tahun depan nanti dia akan memboyong keluarga tercinta untuk mengunjungi Jepang selama musim dingin. Waaah, kebayang serunya ya. Seru dan riweuh hahaha. Aku saja yang baru jalan berdua Mama sudah kelabakan karena jadi "tour leader" tunggal, apalagi memandu 5-6 orang ya?
Hari ini kami sukses dibuat tepar oleh hujan dan suhu dingin Kyoto. Pelajaran yang bisa dipetik hari ini? Jangan pernah lupa mengecek temperatur negara tujuan. Lalu sesuaikan isi koper/ransel kalian dengan suhu disana. Yang paling tahu ketahanan tubuh kita, ya diri kita sendiri kan? Jika suhu 16℃ saja sudah nggak kuat, apalagi suhu 7℃! (note to myself) Awas aja kalo masih ada yang nanya, "Lin, kenapa di Jepang nggak sekalian ke Gala Yuzawa liat salju?" 😒
Makasih udah mampir, readers. Petualangan di hari-hari selanjutnya menyusul di next posts yah.
Wah..... Thanx for sharing the journey ya.... Jadi pengen buat planning ke Jepang nih ...... Kayaknya mirip2 pengalamanku di Paris .....
ReplyDeleteYou're very welcome, Tan.. Mama aja ketagihan kok Tan pengen ke Jepang lagi hehehe. Semoga bisa ngikutin jejak Tante Dina ya menginjak Paris :)
DeleteKak mau nanya yg jr pass 3,5jt itu udah dipake berdua atau buat 1 org doang? Trus include subway gk?
ReplyDeleteBuat 1 orang saja. Subway berlaku tapi hanya untuk kereta yang dioperasikan JR Company (ada banyak perusahaan operasonal kereta di Jepang)
Delete