Post ini menceritakan pengalaman seru mengunjungi Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah: berkenalan dengan sang guide kece, Mas Yusuf Hadi; menjajal hidup diatas klotok 'bintang lima'; mengarungi Sungai Sekonyer yang penuh keajaiban; dan yang paling utama... melihat orangutan langsung di habitatnya. Mari menjadi saksi kali pertamaku menginjak Pulau Kalimantan!
THE BEGINNING
Kayaknya aku memang berjodoh sama Mas Yusuf, deh. Kok bisa-bisanya secuil post beliau nongol di timeline-ku yang biasanya berisi video lucu anjing-kucing-panda, share berita ekonomi dan keuangan, status nyinyir (sisa-sisa) Pilkada DKI 2017, atau kisah petualang di luar negeri dari grup "Backpacker Dunia". Bahkan post Mas Yusuf itu ada di grup Facebook yang jaraaa~ng sekali aku buka.
Open Trip Taman Nasional Tanjung Puting 10-12 Maret 2017 ini sangat menarik perhatianku, si cewek irit nan mereki'. Bayangin guys, Mas Yusuf hanya nge-charge Rp1,7 juta per orang! Oemji... kalo diingat-ingat (dan di-google lagi) betapa ajakan open trip/tour dari penyedia jasa lain mengenakan harga Rp2 juta-an, Mas Yusuf ini bagai oase di tengah gurun pasir. Aku segera menghubungi beliau dan me-reserve satu kursi. Eh ternyata, sudah H-2 minggu begini peserta open trip baru satu orang bule Swedia yang belakangan mengundurkan diri karena pengen goes independent tanpa guide.
Belum sempat kecewa, Mas Yusuf lalu menenangkanku: "Tenang aja, Mbak Erlina (name I used to communicate with strangers. Daripada pake "Erlinel" trus sama mereka kebaca "ERNIEL" kan -__-) Kalo Mbak udah punya 3 teman lagi, sudah bisa jalan kok."
Wajah langsung sumringah lagi. Aku sudah punya Cynthia Dircovani Siringo-ringo, hasil komen-komenan ngawur di status FB yang ternyata berujung serius: beneran jalan tanpa wacana! Gilak. Travelmate begini nih yang jadi idaman. Doski juga berhasil menyeret serta Yuangga Friski Primayoga, mantan teman ngetrip semasa pengangguran dulu. Sekarang Yuangga mainnya sama orang-orang hits trus aku terlupakan, sedih :(
Selain "trip karena berjodoh", Tanjung Puting juga jadi trip yang layak digelari "most rejected" alias "paling banyak ditolak". Ajakanku ditolak oleh Nopri, Rini, Agung, Ipin, Mas Budi (dan belasan geng Flores Trip lainnya), Vina, Aldo, Wilfrit, Bang Adi, Mas Gondo, Ananda, si Bejo, si Badrul... and the list still goes on... sampe akhirnya terhenti di Arya Sukia Bratha a.k.a Abas. Anggota trip yang paling akhir bergabung. Itu pun banyak banget dramanya, baik sebelum maupun selama ngetrip. *lirik centil ke Abas*
Dengan waktu persiapan hanya 2 minggu, persiapan kami terbilang lantjar djaja. Tiket pesawat direct Jakarta (CGK) - Pangkalan Bun (PKN) berhasil dibeli. Abas terpaksa merogoh kocek lebih karena doi berangkat dari Bali.
"Lin, nanti jangan bilang-bilang Yung yah kalo aku gabung kalian," pesan si Abas. Oke deh. Aku manut wes, yang penting Abas tetap iuran Rp1,7 juta hahaha. Ealah, di akhir trip aku baru tahu ternyata si Abas udah ngasih tahu Yuangga duluan! "Hehehe... iya trus aku bilang Yung, nanti di depan Erlin pura-pura surprised aja ya." MPRET.
DAY 1. 10 MARCH 2017.
Aku mewarnai ajang kopi darat di Terminal 1C Soetta dengan sempat-sempatnya telat bangun. Hahaha. Untungnya supir Damri tadi lagi mood untuk balapan, jadi aku tiba tepat waktu sebelum check-in ditutup. Kami menggunakan maskapai Trigana Air yang, selain CGK-PKN, juga memfasilitasi penerbangan di sekitaran Halmahera-Papua. Pesawatnya standar. Se-standar kutukan delay maskapai domestik Indonesia, hahaha. Dari yang harusnya 09.55 WIB, kami baru lepas landas 10.30 WIB.
Mendarat di Bandar Udara Iskandar Pangkalanbun, kami ditipu oleh ponsel masing-masing yang berganti zona waktu menjadi WITA. Kami yang polos dari sono-nya pun percaya saja, bahkan aku langsung mengubah setelan jam tangan menjadi satu jam lebih cepat. Usut punya usut... ternyata di sini tetap menggunakan WIB. Lha! Gini ini hasilnya kalo "malu bertanya sesat di jalan". Hahaha.
Nama "ERLINEL" telah terpampang nyata di selembar kertas HVS putih yang diacungkan oleh Mbak... hmm, aku lupa tapi kayaknya sih namanya Christine. Kami juga bertemu Mas Yusuf di luar gedung bandara. Setelah ramah-tamah sekadarnya, kami pun melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Kumai yang berjarak 20 menit dengan menggunakan taksi-tanpa-argo bandara. Katanya sih, taksi Bandara PKN-Pelabuhan Kumai ongkosnya bisa sampai Rp160 ribu! Wadaw. Untunglah biaya trip kami sudah menanggung semuanya, kecuali beli oleh-oleh tentunya.
Sambil menunggu Yuangga dan Mas Yusuf menunaikan shalat Jumat, kami bertiga menghabiskan waktu dengan foto-foto di dermaga khusus pariwisata. Pelabuhan Panglima Utar (nama sang pahlawan lokal) Kumai ini juga memiliki dermaga komersial yang menjadi tempat labuhan bagi kapal non-wisata sejenis Pelni atau kapal tongkang/pengangkut minyak dan batu bara lainnya.
Welcome, dear travelers |
Maskot utama! |
Sambil menunggu Yuangga dan Mas Yusuf menunaikan shalat Jumat, kami bertiga menghabiskan waktu dengan foto-foto di dermaga khusus pariwisata. Pelabuhan Panglima Utar (nama sang pahlawan lokal) Kumai ini juga memiliki dermaga komersial yang menjadi tempat labuhan bagi kapal non-wisata sejenis Pelni atau kapal tongkang/pengangkut minyak dan batu bara lainnya.
Foto-foto alay dulu di pelabuhan |
Siapa bilang gelar "bintang lima" hanya lekat pada yacht yang mengarungi Samudera Pasifik saja?
Selama 3 hari 2 malam ini kami akan hidup diatas kapal berukuran kecil nan ramping. Kapal ini disebut "klotok" karena konon mesinnya menimbulkan bunyi "tok-tok-tok-tok", meski sekarang bunyi mesin lebih halus toh nama "klotok" tetap melekat. Berbeda dengan kapal yang kunaiki saat living on board (LOB) di Flores, area penumpang justru terletak di tingkat 2. Para awak kapal menempati tingkat 1 yang juga tempat ruang kemudi, dapur, dan kakus sederhana.
Langsung disambut makan siang lezat |
Disediakan hammock juga, aih~ |
Sekitar 15 menit berlayar di Sungai Kumai, mata kami menangkap 'sesosok' orang utan di kejauhan. Besar. Berwarna cokelat dipernis. Tak bergerak. Patung! "Nah, kita memasuki kawasan Taman Nasional Tanjung Puting," Mas Yusuf mengumumkan. Waaaah! Berdasarkan tanda ini, kapal pun belok kiri memasuki muara sungai yang lebih sempit: Sekonyer. Cara pandangku terhadap air (semakin jernih semakin indah) seketika berubah. Sungai Sekonyer ini cantik banget, readers! Warnanya coklat berkilau memantulkan cahaya matahari yang masih tinggi di atas kepala. Di sisi kanan dan kiri, pohon nipah bertumbuh subur dan rapat satu dengan yang lain.
...memasuki kawasan Taman Nasional Tanjung Puting! |
Sepanjang perjalanan, kami terus dihibur (atau 'mengusik'? hahaha) Mas Yusuf dengan berbagai cerita Tanjung Puting. Sebelum mendaftar trip aku sempat melakukan riset kecil-kecilan tentang guide kami ini. Mas Yusuf adalah salah satu guide senior di Tanjung Puting, namanya disebut dalam berbagai situs pariwisata/tour Tanjung Puting sebagai "experienced guide" yang tidak perlu lagi diragukan pengetahuan dan pengalamannya. Riset semacam ini penting lho readers, terutama agar kamu tidak terjebak dalam "open trip bodong" yang semata menjual pariwisata tanpa menawarkan ilmu pengetahuan baru. Berbekal pengetahuan tentang Mas Yusuf, kami pun semakin dipenuhi rasa ingin tahu dan semangat menggali cerita dari beliau yang memang sangat bersemangat berbagi kisah. Sesekali, Mas Yusuf menunjuk ke arah ekosistem sungai untuk menjelaskan berbagai hal. Ini namanya belajar ilmu alam langsung di alamnya!
Sempet-sempetnya 'memetikkan' buah nipah untuk kami. Rasanya enak, mirip kolang-kaling |
Beruntung sekali! Tidak berapa lama kemudian, kami melihat orangutan yang tengah asyik makan di salah satu pohon nipah. Guide andalan kami itu tanpa berpikir panjang langsung mengomando kapal untuk putar balik, demi para tamunya bisa memandang lebih dekat. Samar-samar warna merah kecoklatan tampak kontras di antara hijaunya dedaunan pohon. Kami tersihir. Bingung antara harus diam, agar si orangutan tidak kaget, atau teriak girang karena akhirnya menemukan orangutan! Selain menjadi orangutan 'perdana', yang satu ini juga merupakan satu-satunya orangutan liar yang kami lihat selama trip. Ah, betul ternyata bahwa orangutan takut dengan manusia: dia segera kabur setelah menyadari kehadiran kami.
Sayang momen ketemu orangutan tadi tak sempat terekam kamera |
Additional information buat kalian yang bermimpi untuk ketemu orangutan, TNTP ini dihuni oleh dua jenis orangutan: rehabilitan dan liar. Jadi, selain bertemu orangutan di tiga camp utama TNTP, kalian juga bisa ketemu orangutan liar di sepanjang Sekonyer, seperti pengalaman kami diatas tadi. Paling mudah membedakan kedua jenis orangutan ini dari warna bulunya. Rehabilitan lebih berwarna kemerahan karena sering terpapar sinar matahari. Kalau bertemu dengan orangutan bulu hitam alias liar, diharapkan kita tetap menjaga jarak ya, mereka hampir tidak pernah berinteraksi dengan manusia. Plus, tidak dapat ditebak bagaimana reaksinya jika melihat manusia. Beda dengan orangutan yang sudah direhabilitasi dan 'akrab' dengan para pengasuhnya di camp.
Empat penjelajah siap beraksi |
Destinasi pertama dari Trip Tanjung Puting: Camp Tanjung Harapan. Setelah dibuai angin segar selama dua jam, klotok kami tiba di tujuan utama hari kesatu yang merupakan salah satu pusat rehabilitasi orangutan TNTP. Lokasi yang dibangun akhir tahun 1970 ini dulunya adalah Desa Sekonyer, hingga akhirnya dipindahkan ke seberang sungai. Karena sudah begitu semangat ingin ketemu orangutan, kami tak butuh waktu lama untuk menjejakkan kaki ke dermaga. Suasana begitu sepi dan sunyi. Tenang. Ah! Nikmatnya mengunjungi TNTP saat musim non-liburan, serasa milik sendiri. Kami pun puas berkeliling di pondok pusat informasi untuk membaca berbagai kisah seru Tanjung Harapan.
Touchdown Tanjung Harapan |
Pusat Informasi |
"Teman-teman, ayo jalan!" Mas Yusuf mengajak kami meninggalkan pondok untuk trekking masuk hutan. Di depan kami ada dua orang petugas camp (jika tidak salah ingat, salah satunya adalah pria Dayak asli) yang menyandang bakul rotan besar berisi pisang dan buah-buahan lain untuk feeding time orangutan nanti. Sesekali keduanya (Mas Yusuf juga!) membuat bunyi-bunyi melengking yang khas sebagai tanda untuk orangutan bahwa makanan sudah datang. Wah, seru! Seketika kami pun ikut membuat bunyi-bunyi serupa... yah, walaupun ada falset-falset sedikit lah. Semoga orangutan tidak menerjemahkan suara kami sebagai ajakan kawin atau berantam ya, amin.
Trekking
|
Oh ya, selain sebagai tempat konservasi bagi orangutan dan hewan-hewan lain, TNTP juga kawasan hutan lindung dengan ratusan jenis tanaman, baik merambat, menjalar, melingkar, mendatar, menurun, semuanya. Selama menjelajahi hutan TNTP, aku seperti flashback perjalanan Biologi yang kupelajari di SD-SMA: hampir 12 tahun! Aku jadi teringat, saat SD dulu seorang guru Biologi pernah berkata jika ingin belajar tumbuhan datanglah ke hutan hujan tropis, dan hutan terkaya di Indonesia itu letaknya di Kalimantan. Wah. Anganku langsung terbang saat itu, membayangkan kapan aku bisa berdiri di hutan hujan tropis Kalimantan yang kedengarannya begitu menakjubkan itu. And... here I am. Segalanya terasa seperti raksasa di sekelilingku, ada pohon-pohon raksasa dengan diameter super lebar, semut-semut seukuran buku jari, akar gantung seukuran tali tambang, manusia hanyalah noktah kecil di tengah hutan Kalimantan ini.
Semut raksasa |
Kurang lebih 30 menit trekking menembus hutan di area Tanjung Harapan, kami akhirnya sampai di feeding area. Bentuknya berupa panggung kayu sederhana yang dibatasi tali nilon antara panggung dengan tempat duduk pengunjung. Di sekitar area pepohonan tinggi tumbuh mengelilingi, dimana si orangutan akan muncul dengan bergelantungan di dahan-dahannya. Duduk manis di kursi penonton, sudah ada tiga orang pengunjung 'bule' yang mendahului kami: pasangan suami-istri dan seorang solo traveler, masing-masing ditemani guide-nya. Mereka sudah siap dengan kamera DSLR andalan, siap membidik feeding area sambil pasang telinga untuk mengenali kedatangan orang utan. Kami tentu tak mau kalah. Langsung gerak cepat mengambil tempat duduk terdepan dan standby menunggu aba-aba Mas Yusuf yang kerap memberi tahu kalau-kalau ada suara gemerisik dahan pohon, pertanda kedatangan si orangutan.
Kursi terdepan! |
10 menit menunggu, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga! Diawali seekor betina dengan sang anak bergelayut di punggungnya, feeding area Tanjung Harapan perlahan-lahan 'diserbu' orangutan. Hanya dua-tiga ekor yang makan bersama-sama di panggung, selebihnya datang silih berganti, makan pisang sepuasnya selagi belum ada yang mengusik, lalu mengambil perbekalan dan kabur lewat dahan pohon ketika dilihatnya ada orangutan lain datang medekat.
Hai, kamu! |
Bersama si kecil |
Sambil mengunyah, mata para orangutan dewasa ini awas terhadap sekitarnya. Mereka waspada terhadap kedatangan sang raja di camp Tanjung Harapan. Kalau rajanya datang, orangutan jantan lain akan kabur, menghindari perselisihan. Kami terhanyut dibuai cerita Mas Yusuf serta pemandangan langka di hadapan mata. Lucu banget sih kalian, orangutan!
Terpaku melihat kelakuan orangutan saat makan |
One thing to put in mind: jangan lupa membawa lotion anti nyamuk saat trekking di TNTP. Nyamuk-nyamuknya ganas, bro! Aku sempat bertemu seorang bule yang nampak begitu strong menggunakan baju sleeveless dan hot pants. Aku iri, pasti sejuk rasanya berbaju demikian di tengah hutan tropis yang gerah ini. Eits... tapi begitu didekati, nampak jelas warna merah-merah seperti bentol/gigitan nyamuk di tubuhnya! Waduh. Ditambah beberapa ruam yang menjamur, seakan menunjukkan bahwa Mbak Bule ini mungkin alergi terhadap udara panas, atau memang disengat hewan kecil. Aku jadi jatuh kasihan. Pengen nyodorin Soffel spray andalanku, tapi takut dipakai hingga habis karena bajunya memang minim sekali. Duh.
Para nyamuk berpesta |
Dua jam dalam pelukan hutan Tanjung Harapan, kami putuskan untuk kembali ke kapal. Antara sudah kegerahan atau kesakitan dirubung nyamuk ganas. Toh kamera sudah penuh dengan foto-foto ciamik para orangutan. Karena matahari masih cukup tinggi, jalanan masih cukup jelas terlihat dan kami tidak membutuhkan senter. Tapi tetap disarankan bagi para trekker untuk membawa senter saat masuk hutan, berjaga-jaga saja.
Nggak boleh lupa 'photo session' yang Instagrammable |
Sebenarnya aku sudah ingin menutup cerita hari ini sampai disini saja. Soalnya kisah selanjutnya cukup memalukan bagiku. Hahaha. Aku mabuk laut! Eh, apa "sungai" ya? Entahlah, yang jelas aku langsung tepar begitu naik klotok. Saat tiga kawanku riang-gembira berburu sunset di dek kapal, aku justru tergeletak lesu di kasur, berpura-pura hanya capek dan ngantuk agar tidak terlihat lemah. Hahaha, harga diri, bung! Apa daya, aku akhirnya diserang mual dan terpaksa mengeluarkan lauk nikmat tadi siang. Puji Tuhan sih, aku jadi lebih segar dan siap mengisi perut kembali dengan makanan Bu 'Siska' yang sudah tercium harum. Tidak lupa menenggak sebutir Antimo dan se-sachet Tolak Angin, penyelamatku saat perut mulai bergejolak.
Disediakan soda dingin segala, duh keren banget Mas Yusuf ini! |
Nah, sekian perjalanan kami di hari pertama menjelajah Tanjung Puting. Besok ada cerita yang lebih seru lagi!
PS.
Dear Yuangga dan Cyn, izin menggunakan beberapa foto hasil jepretan kalian ya. Ciamik banget, both the camera and the person behind it. Salam cup cup muah! 😁
Hi erlinel, mau tanya itu tripnya berakhir jam berapa ya? Terus ambil pesawat jam brpa? Jadi overall berapa hari perjalanan? Terima kasih sebelumnya. Blognya keren btw.
ReplyDeleteHalooo! Kemarin aku pake paket 3D-2N yang disini http://orangutanviaje.com/info/1313/3+DAYS+2+NIGHTS.html
DeleteTrip berakhir jam 10 pagi kok. Kemarin itu aku pulang naik Kalstar PKN-CGK kira-kira jam 1 siang, tapi kayaknya sekarang udah nggak ada lagi.
Makasih udah mampir yaa :)