THAILAND. Negara yang telah sukses mencuri hatiku sejak pertama kali kenal dua tahun silam. Megah kuil dan candinya, kilau emas di gedungnya, nikmat mango sticky rice-nya, bahkan terik matahari di langit Thailand... semuanya berkesan bagiku dan selalu memanggilku untuk kembali tiap ada kesempatan -- berupa tanggal merah dan tiket promo.
Bangkok, sudah. Pattaya, sudah. Kali ini aku berkesempatan menginjakkan kaki di salah satu provinsi ternama Thailand yang bisa dibilang paling berkilau dibanding lokasi lain: Phuket. All hail Bang Adi, sponsor tiket promo andalan yang sejak 2014 menjadi penyebab munculnya cap-cap imigrasi di pasporku. Hehehe.
|
Jauh ya reuniannya |
Try travel somewhere with someone new.
Se-seru-serunya pengalaman
traveling dengan seorang kenalan baru, tidak akan ada yang bisa mengalahkan rasanya jalan bareng sekaligus temu kangen sama
mantan. Ehm. Mantan
travelmates, maksudku. Jangan kaget gitu ah. Kali ini mereka adalah Bang
Supriadi a.k.a Adi dan
Aldo Aribama Siahaan. Ada satu mantan lagi sebenarnya, tapi doski menolak
lupa untuk disebutkan karena, layaknya Pemilu, keikutsertaannya bersifat rahasia. Mari kita sebut 'mantan' yang ini dengan "
Si Kawan Anonim" saja.
Biar nggak bosan pesiar sama yang itu lagi-itu lagi, disini aku juga mendapat travelmates baru tapi stok lama: Ezra Cristy Gultom a.k.a Echa dan Christoffel Barita HN a.k.a Topel. Bahagia banget deh bisa jalan dengan dua orang ini, dua-duanya enak diajak jalan. "Teman jalan asik" tuh yang kayak gimana? Yang nggak bawel, nggak pelit, nggak pecicilan, dan berfungsi bagi khalayak ramai. Hahaha. Ezra kami dapuk menjadi camera-woman spesialis selfie dan Boomerang. Tahu dong yang terakhir itu apa; aplikasi ngehits buat bikin video ala Syahrini yang "maju-mundur syantique". Sedangkan Topel... ah, udahlah. Nggak usah dijabarkan lagi apa fungsinya beliau dalam trip kali ini. Yang pasti rahangku hampir lepas sejak detik pertama bertemu Topel di KLIA. Semua video yang direncanakan jadi vlog Phuket pun terancam unusable gara-gara suara ketawaku yang selalu membahana.
|
Tawa bermunculan tiap si Topel membuka mulut 😁 |
Tanpa berpanjang-panjang lagi, mari kuceritakan kebersamaan penuh tawa canda kami selama di Phuket.
DAY 1. FRI, 21 APR. JAKARTA-KUALA LUMPUR
Bisa dibilang highlight dari perjalanan hari pertama adalah perjuangan mencari free Wi-Fi di KLIA2. Hahaha. Usai mendarat di KL, aku dan Bang Adi kerap saling tanya, "Bisa connect Wi-Fi?" Luar biasa ya generasi Millenial sukses menggeser kebutuhan pokok sandang-pangan-papan menjadi internet.
Perjalanan Tim A (aku dan Bang Adi) dari Jakarta terbilang aman damai lancar jaya. Kami kopi darat di Pangkalan Damri Stasiun Gambir pukul 13.00 WIB untuk terbang dengan Garuda Indonesia ke Kuala Lumpur pukul 16.45 WIB. Nikmatnya menggunakan jasa maskapai terpercaya, ancaman delay kecil kemungkinannya. Kalaupun delay, bukan masalah besar karena penerbangan kami selanjutnya ke Phuket baru keesokan pagi. Pesawat kami mendarat mulus di Kuala Lumpur International Airport Malaysia pukul 20.00 GMT+8. Selanjutnya kami menggunakan kereta KL Transit seharga 2 ringgit (RM) untuk transfer ke KLIA2, tempat mendarat Tim B (Aldo, Echa, Topel) yang menggunakan maskapai AirAsia.
Berbeda dengan kenyamanan kami berdua, kawan-kawan dari Medan sana justru mengalami delay hingga hitungan jam. Aku dan Bang Adi mau tak mau berkeliaran di KLIA2, sambil tangan tetap sibuk mencari Wi-Fi yang entah kenapa kali ini tak bersahabat dengan ponsel kami. Biasanya Wi-Fi gateway@KLIA2 selalu ramah kok, tinggal input nama dan sandi Facebook bisa langsung connect. Untunglah ada McDonald's dengan es krim cone RM 3-nya yang menyelamatkan.
Singkat cerita, kami berlima akhirnya dipertemukan. Bisa kebayang dong gimana rasanya bertemu orang-orang yang sudah 3 tahun terpisah jarak, padahal biasanya ketemu setiap minggu? Obrolan mengalir lancar diantara kami. Bahkan Aldo dan Topel yang lebih sering ketemuan (saat mudik ke Medan) hingga jam 1 dini hari masih saja sibuk 'arisan'. Dinding kamar kami yang tipis tidak mampu menghalau ributnya muncung mereka. God, help me, aku pingin tidur. Bang Adi yang terpisah hotel dengan kami pasti sudah pulas dalam ketenangan.
|
Sarapan sekelak sebelum terbang ke Phuket |
PS. Kenapa judul post-nya "Berpadu Suara"? Karena kami terus-terusan menyanyi lagu paduan suara dalam perjalanan. Pokoknya setiap ada keheningan pasti segera diisi senandung bersama ala Sopran-Alto-Tenor-Bass. Bahkan lagu pop sekalipun langsung dibuat hancur diperindah dengan pemecahan suara. Literally pecah sih.
DAY 2. SAT, 22 APR. KUALA LUMPUR-PHUKET
Penerbangan AirAsia menuju Phuket, kali ini tak disertai kendala
delay. Ada untungnya juga sih naik maskapai minim servis: aku jadi puas tidur tanpa perlu diganggu pramugari yang membagikan makanan.
Well, ini untuk kasus penerbangan 2-3 jam saja sih. Kalau terbang 8 jam, ya
modyar juga nggak dapat makanan.
Selayaknya
trip lain yang di-
arrange oleh Bang Adi, sisa perjalanan selanjutnya sudah terencana dengan baik. Kami dijemput oleh minivan mewah di depan bandara Phuket -- yang juga tak kalah mewahnya. Masa tempuh ke
Patong City dari bandara selama satu jam tidak terasa sudah berlalu. Aku asyik melihat pemandangan Phuket yang entah bagaimana, mengingatkanku pada pemandangan saat mudik ke desa Mama di Poigar, Minahasa Selatan. Jalan aspal yang lengang dengan pohon dan ladang hijau di kiri-kanan, serta rumah penduduk yang sederhana... semuanya mirip. Apa aku yang ketiduran dan bermimpi ya saat bermobil itu?
Kami di-
drop di hotel Hemingway Patong, penginapan yang dipilih Bang Adi sejak perencanaan Phuket Trip. Ternyata pihak hotel memindahkan pesanan tersebut ke
branch lain:
Hemingway Silk. Hotelnya lebih mewah dari yang dipesan Bang Adi, bahkan dilengkapi kolam renang. Widih. Sayangnya aku dan Echa tak bisa menikmati kemewahan yang sama. Kami menginap di hotel Hemingway yang lain (banyak banget emang), tak begitu jauh dari hotel Bang Adi dkk.
Bang Adi sebagai Ketua Geng memang tidak pernah mengenal lelah. Saat aku dan Echa masih pengen leha-leha di sofa lobi hotel, dia dan Topel sudah berhasil membeli kacamata hitam, survey harga penyewaan motor, dan mencari toko yang menjual SIMcard. Gilak. Luar biasa.
|
Nyari SIMcard |
|
Nyari... jodoh? |
Penyewaan motor terletak persis di samping Hemingway's Silk. Tapi penyewanya galak dan tak kenal senyum, aku tak tahan berlama-lama melihat transaksi di dalam sana hahaha. Mendingan aku panas-panasan di luar hotel daripada melihat raut muka Mbak Tanpa Senyum itu.
Anyway, temen
traveler/blogger lain banyak cerita bahwa menyewa motor itu wajib memberikan paspor atau SIM internasional disamping sejumlah uang tunai sebagai jaminan. Puji Tuhan sih kami tidak diminta apa-apa selain uang jaminan. Hmm, padahal si Bang Adi sejak masih di Damri menuju bandara Soetta sudah panik lebay gitu karena lupa membawa SIM.
Pasukan kecil kami terdiri dari aku-Aldo, Echa-Topel, dan Sang Ketua Geng sendirian. Sebagai pemanasan, aku mendapat giliran pertama kali memegang
Maps untuk menuntun jalan ke Big Buddha. "Ah, Echa ajalah, aku nggak paham cara pake
iPhone!" Awalnya mau sok-sok nolak gitu, biar bisa leluasa foto-foto sepanjang jalan. Taktikku gagal karena bentuk
Google Maps toh emang sama mau di hape
iPhone, Android, ataupun
Windows Phone. Huft.
Do, kau nggak takut bawa motor di negara asing?
Aku melontarkan pertanyaan itu karena aku saja masih tak nyaman membawa motor semasa kuliah di Bintaro, yang hanya seukuran daun kelor itu. Gimana rasanya bawa motor di negara tetangga, yang tidak kita ketahui budaya dan adat-istiadatnya?
"Ini juga karena Thailand mirip-mirip Indonesia aja , makanya aku berani," jawab Aldo. Betul juga sih. Lajur kendaraan sama-sama di kiri. Mobil dan motor yang dikendarai juga rata-rata mirip, meski tak sefanatik Indonesia dalam merk mobil tertentu. Kota Phuket juga sangat rapi, bukan jenis kota yang amburadul dimana orang bisa sembarang menyeberang jalan. Bahkan nih
readers, hampir
tidak ada kendaraan yang membunyikan klakson!
Beda banget kan sama orang Indonesia yang langsung nglakson kenceng-kenceng padahal
traffic lamp baru mau beralih dari oranye ke hijau. Hadeh.
|
Safe ride, usahakan selalu berkendara di lajur kiri |
|
Kiri kanan kulihat saja, banyak tanaman hijauuu~ |
|
Serasa jalanan menuju Poigar (Minsel, Sulut) |
|
Motor boros |
Sekitar 45 menit motoran akhirnya kami memasuki kawasan
Big Buddha Phuket, Karon. 45 menit itupun sempat dikorupsi beberapa menit untuk mengisi bensin di tanjakan. Aku kurang paham masalah otomotif sih, tapi kerasa betul motor
matic yang kami sewa ini sangat boros bensin. Dari tangki 3/4 penuh saat memulai perjalanan, indikator bensin sekarang menunjukkan 1/2 penuh. Bensin sebanyak itu hilang dalam 40 menit motoran. ...Berapa literkah bensin yang dibutuhkan Aldo untuk mengelilingi Phuket hingga malam nanti? Eh, maaf. Kok jadi soal TPA. Kebawa suasana jelang USM D4 nih hahaha.
Destinasi satu ini merupakan kuil yang terkenal dengan
icon patung Buddha berwarna putih setinggi 45 meter. Konon patung ini dapat dilihat dari sebagian besar wilayah Phuket. Tapi sepanjang perjalanan arak-arakan, kami kok tidak melihat patung ini ya? Jadinya aku diragukan terus, "Yang betulnya Lin lewat sini? Kok ga nampak Big Buddha-nya?"
Upaya mendaki tanjakan berkelok-kelok ini berbuah manis. Di kiri-kanan jalan kita disuguhkan pemandangan indah berbagai teluk Phuket, ada
Chalong Bay,
Phang Nga Bay,
Kata Bay, dan
Kata Noi Bay. Sempat terpikir untuk berhenti sejenak, yah... sekadar ngambil satu-dua
selfie bisa kalik. Tapi panas matahari mendesak kami untuk tetap melaju hingga Big Buddha, agar tidak membuang-buang waktu.
|
Fotografer andalan selama trip |
Puas foto-foto di pelataran Big Buddha, kami masuk ke dalam untuk melihat isi kuil megah ini. Ternyata masih dalam rekonstruksi. Pantas saja di pintu masuk ada semacam
booth untuk memberikan donasi berupa bahan bangunan. Di sisi lain kuil juga ada
booth penjual suvenir khas Buddha dan Thailand yang uang hasil penjualannya akan masuk dalam dana pembangunan kuil.
Make sense sih mengingat masuk ke Big Buddha ini tidak dikenakan
entrance fee bahkan uang parkir sekalipun.
|
"A week offerings" |
Tempat wisata selanjutnya adalah
Wat Chalong, tidak sampai 15 menit motor-motor kami sudah masuk ke gerbang depan kuil. Wat Chalong atau
Chalong Temple ini adalah kuil paling bersejarah di Phuket makanya wajib deh datang kesini setelah dari Big Buddha Patong. Sama seperti
temples di Bangkok sana, setiap bangunan di lokasi ini dibangun dengan begitu megah dan indah. Warna emas dan merah tersebar di mana-mana.
|
Bidadari dari mana nih? |
|
Ramai pengunjung |
|
Atap gedung khas Thailand. Ngangenin. |
Jangan lupa,
readers, jangan karena terpaku melihat warna-warna yang menakjubkan ini, kalian tidak ingat untuk menutup kaki. Pokoknya di tempat ibadah pastikan selalu mengenakan pakaian yang sopan, minimal selutut lah. Kita juga tidak mau kan turis-turis berpakaian seenaknya saat mengunjungi tempat ibadah kita? :) Oh ya, Wat Chalong juga bebas
entrance fee bahkan parkirnya pun gratis. Enak bangeeet.
|
Kainnya kalah cerah sama gedung di belakang |
|
Lagi-lagi parkir gratis di Wat Chalong |
Kami 'menjemput' Bang Adi dkk pukul ... Perkiraanku bahwa matahari akan mulai terbenam sebelum jam 6 sore ternyata meleset. Pukul ... matahari masih saja menyengat. Aku dan Echa yang hanya berjalan kaki 10 menit lumayan dibikin keringetan.
Alih-alih memilih Patong Beach yang lebih dekat dari hotel, destinasi
sunset watching kami putuskan adalah Karon Beach, alias kembali melewati jalur yang kami tempuh siang tadi menuju Big Buddha dan Wat Chalong. Dibandingkan Patong, Karon Beach lebih ramai dikunjungi karena ada berbagai macam
watersport dijajakan. Jaraknya lumayan jauh sih, tapi bayangan akan
sunset yang bulat sempurna memacu semangat kami. Aku sendiri sudah lama banget lihat matahari terbenam, hampir setengah tahun lalu.
|
Pasirnya lembut banget kayak pantat bayi |
|
MAUUUU! |
|
Tiada menit tanpa selfie |
Pikiran pertama yang melintas saat menjejakkan kaki di pasir Karon Beach yang halus... "Waduh kita salah kostum!" Ya iyalah,
wong di kiri-kanan semuanya pake bikini dan celana pendek doang. Kami malah berpakaian kayak mau ke
mall (lirik si Kawan Anonim yang malah pake kemeja 😅). Yang hobi nonton Baywatch pasti bahagia deh kalo main kesini, apalagi bulan Juni-Juli saat ramai turis asing. Uhuuuy~ aurat di mana-mana. Aku sih tetap fokus sama mataharinya, tapi sayangnya banyak awan menutupi kaki langit. Pupus deh harapan memotret
sunset bulat sempurna.
Kini saatnya kita... wisata kuliner!
Yummy! Ada sejenis
foodcourt yang letaknya persis di samping Hemingway's Silk, tidak jauh dari Bangla Road. Disinilah kami melampiaskan rasa lapar yang sudah memuncak.
Pork ribs, mango sticky rice, fried prawns, hingga jus buah-buahan, semua kami lahap. Aaaaah~ aku jadi lapar selagi menulis
review ini :(
|
Pork ribs seharga ฿50/tusuk |
|
Mango Sticky Rice kesukaan sejuta umat! ฿60 saja per porsi |
|
Siap pesta seafood? |
|
Meja langsung kosong dalam hitungan menit |
Perut kenyang, hati senang! Sekarang saatnya membakar kalori dari
pork dan
sticky rice dengan jalan-jalan menyusuri
Bangla Road. Daerah ini terkenal dengan
nightlife-nya,
especially pertunjukkan
sexy dance. Mirip dengan kawasan
Khao San dan
Silom di Bangkok atau
Walking Street di Pattaya. Leherku jadi
sengklek karena kerap menoleh kiri dan kanan sepanjang Bangla Road. Bar-bar dengan
pole dancers bisa ditemukan dengan mudah. Para
waiters/waitresses bahkan berdiri di jalan sambil menawarkan sajiannya,
either alkohol ataupun gadis-gadis penghiburnya. Yang paling menarik bagiku adalah bar dengan konsep
foreign dance seperti tarian Rusia. Bar ini terdiri dari dua tingkat. Jika kita menoleh keatas, akan tampak seorang gadis (entah lokal, entah asli Rusia) penari dengan kostum Rusia, tapi malah
pole-dancing sensual.
Readers yang masih di bawah umur jangan masuk kesini yaaa... mending wisata kuliner aja deh di
Weekend Market.
|
Di ujung Bangla Road ada neon sign ini. Ternyata Patong Beach deket toh... |
Sebelum menuju Bangla Road, kami mampir di kios-kios suvenir yang berada di dalam gang yang lebih sepi. Harga suvenir di Phuket mahal gilak! Dua kali lipatnya Bangkok. Harga sepotong baju bisa mencapai Rp80 ribu, padahal di Bangkok nawar Rp20 ribu pasti tetap dikasih. Coba datang ke
Weekend Market jika memang ingin berburu suvenir dengan harga murah meriah, tapi diniatin ya karena jaraknya 15 KM lho dari Bangla Road.
I ended up wasting money for myself, berhubung rekan-rekan di kantor sudah cukup sering kubawakan oleh-oleh Thailand. Eh tapi harus tetap membeli
dried mango lho. Ini jenis oleh-oleh paling
universal, semua orang pasti suka dengan rasanya yang manis dan empuk. Harganya pun sekitar ... saja.
|
Mewah ya kamar para lelaki disaat aku dan Echa tidur di 'lumbung padi' :( |
DAY 3. SUN, 23 APR. PHUKET (Phi-Phi Island)
Tipikal orang Asia, supir minivan dari paket wisata
Phi-Phi Island Tour terlambat menjemput kami di hotel. Setelah akhirnya datang pun si Pak Supir, yang disebut Topel "Pak Siahaan" karena mukanya mirip Aldo 😹, memasang muka ketus seakan kami yang salah karena keterlambatannya. Lho.
Wong edan. Kekesalan beliau semakin memuncak ketika menjemput tamu dari hotel selanjutnya (orang Indonesia juga!) yang belum siap di lobi saat minivan kami tiba. Mereka bahkan membuat kami menunggu hingga 20 menit. Astaga, jangan seperti mereka ya
readers. Van akhirnya melaju ke
pier (dermaga) dimana sebuah kapal cepat telah menunggu kami untuk berkeliling Phi-Phi.
|
Dari yang awalnya duduk di ujung kapal, jadi pindah ke dalam karena matahari sudah tinggi |
Satu kapal bisa diisi hingga 20 orang. Selain kami dan sekelompok Mbak-Mbak Indonesia yang ngaret tadi, ada juga satu keluarga Indonesia, dua pasang bule Amerika, dan satu keluarga yang sepertinya warga negara India.
Hopping island seperti ini sangat ketat pengaturan waktunya. Si Abang
Guide juga terus menekankan agar peserta tur tidak terlambat kembali ke feri.
Perhentian pertama adalah
Khai Nai Island. Disini peserta tur diberikan waktu 1 jam untuk
relaxing maupun
snorkeling. Pulau ramai dipenuhi restoran berbentuk bungalow. Jenis makanan yang dijual pun mirip-mirip, silakan memilih restoran yang paling nyaman. Dijamin bakal bingung sih saking ramainya pulau ini. Setelah makan, Aldo dan si Kawan Anonim memutuskan untuk
snorkeling.
Dari Khai Nai, kami bertolak ke
Phi-Phi Don Island untuk
sightseeing di
Monkey Beach. Awalnya kapal merapat ke arah suatu tebing yang cantik, warna hitamnya kontras dengan warna hijau air laut, terlihat sangat menarik. Ternyata di tebing berkumpul banyak monyet. Seakan sadar mereka adalah atraksi bagi para turis, mereka lincah melompati batu-batu tebing dan berayun dari satu akar ke akar lain. Karena sudah menikmati sensasi bertemu orangutan di Tanjung Puting, aku jadi tidak terlalu tertarik dengan destinasi ini.
Ternyata disini adalah lokasi
snorkeling. Pantas saja airnya begitu jernih, dari atas kapal saja sudah terlihat karang-karang dan puluhan ikan warna-warni. Namun
snorkeling spot ini masih kalah bagus dengan Indonesia, apalagi Bunaken.
Corals-nya tidak begitu beragam, bahkan beberapa mulai rusak karena terlalu sering didatangi kapal. Kejernihan airnya juga masih kalah lah, apalagi dengan Derawan yang sudah terkenal dengan "air cermin"-nya. Aku tak berlama-lama di dalam air. Arus terasa begitu kencang mengombang-ambing tubuh.
|
Perdana snorkeling di luar Indonesia
|
Setelah semua peserta naik ke kapal, kami bergerak ke darat untuk menikmati makan siang di salah satu restoran Monkey Beach. Makanannya tersaji dalam bentuk prasmanan. Sederhana saja sih hidangannya: nasi,
spaghetti, lauk daging (entah ikan atau ayam), serta sayur dan buah.
|
Pesisir Monkey Beach |
Destinasi selanjutnya adalah Viking Cave dan Pileh Lagoon, yaitu sejenis ceruk gua di batu karang yang nampaknya hanya dihuni oleh burung. Kenapa namanya Viking akupun tak tahu, sudah jelas tidak ada hubungannya dengan bangsa Viking yang keren itu. Selanjutnya adalah laguna Pileh yang benar-benar memukau. Pemandangan di depan mata kami sangat indah, sebuah laguna/danau yang tersambung langsung ke laut berhiaskan bukit/tebing koral raksasa yang tercipta jutaan tahun lalu. Luar biasa.
Pulau yang terakhir adalah pulau yang juga paling beken di Phi-Phi Island: Maya Bay. Pulau satu ini menjadi lokasi syuting film The Beach (1999) yang dibintangi Leonardo de Caprio. Maya Bay diapit oleh tebing-tebing tinggi, kira-kira 100 meter tingginya, di ketiga sisi. Pantai utamanya, yang menjadi tempat berlabuh kapal para wisatawan, terbentang memanjang sejauh 200 meter dan memiliki pasir yang super duper halus. Ini pasir pantai terhalus yang pernah aku injak, readers. Berasa kayak tepung ditumpahkan langsung ke pantai.
Selain karena pernah jadi lokasi syuting film Hollywood, Maya Bay juga terkenal sebagai satu diantara tiga lokasi wisata dengan fitur pantai dikelilingi tebing/batu karang tinggi. Situs yang lainnya, bisa nebak nggak? Tentu saja Raja Ampat kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Sisanya adalah Ha Long Bay di Vietnam. Beruntung banget ya Bang Adi sudah pernah mencicipi dua situs itu, tinggal mengejar Raja Ampat saja.
Jika ingin menyambangi Maya Bay, hindari bulan Mei-Oktober dimana akses melewati sela-sela tebing menjadi lebih sulit. Tetap bisa masuk hingga ke pantai, tapi bayangkan puluhan kapal dan feri mengantri untuk maju perlahan melawan arus kencang. Ramai banget pasti. Saat kami datang, pantai sudah ramai dirubungi turis. Bikinis everywhere! Maklumlah, periode November-April memang waktu terbaik untuk berkunjung. Kalau mau dapat suasana Maya Bay yang sepi dan tenang, cobalah datang pagi-pagi sebelum jam 9 atau sore setelah jam 5.
Pernah naik wahana Tornado-nya Dufan? Histeria? Roller coaster? Nah, yang kami rasakan dalam perjalanan pulang ke Phuket, sama persis dengan sensasi menaiki wahana-wahana itu! Nggak sampe dijungkir-balik sih, tapi perut bener-bener kayak dikocok. Semua disebabkan karena arus gelombang laut yang kencang di sore hari, menyebabkan feri 'menabrak' gelombang laut dengan sangat kencang. Kami berenam yang setia duduk di ujung feri langsung heboh tak karuan. Dari yang awalnya masih menikmati, lama-lama kok ya jadi ngeri juga.
Setelah 10 menit (yang rasanya kayak seabad), feri dihentikan oleh Abang Guide untuk memberi kami kesempatan pindah ke dalam. Tanpa menunggu komando dua kali, kami langsung ngacir masuk ke dalam. Aku kebagian tempat duduk antara dua pria bule, lumayan terhindar dari percikan ombak. Sepanjang sisa perjalanan, kami terus dibuai ombak. Aku sempat diserang mual, tapi tertolong oleh rasa ngantuk yang terlebih dulu menguasaiku. Bangun-bangun, feri sudah siap merapat ke dermaga.
|
Muka-muka ceria ini langsung musnah diserang ombak |
Pada umumnya
Phi-Phi Island Tour berlangsung dari jam 9.30 pagi hingga 5 sore. Begitu pun tur kami. Jam 5 sore van antar-jemput kami meninggalkan dermaga
starting point tur untuk mengantar setiap peserta kembali ke penginapan masing-masing. Suasana dalam van lebih ramai kali ini, semua orang bercengkerama dengan ceria, mungkin masih membahas serunya
hopping island tadi. Pak Sopir semakin menambah keributan dengan memutar lagu Thailand yang serupa irama dangdut Pantura.
Kamar hotel yang baru dibersihkan seakan menggoda kami untuk langsung rebah di kasur. Sayangnya tidak ada waktu untuk bobo-bobo cantik. Kami harus segera mandi agar sempat makan malam dulu sebelum menonton pertunjukkan Simon Cabaret pukul 21:00 nanti.
Trip kali ini aku mendapat pengetahuan baru dari Echa, gunakanlah
coconut oil -- VCO ya, jangan minyak goreng atau minyak zaitun -- untuk meredakan
sunburn. Wah, betul juga. Wajahku langsung berkurang merah gosong-nya berkat minyak ini. Makasih, Echa! Sebagai ucapan terima kasih, kuberikan juga balasan ilmu
traveling: bagaimana cara menjemur
underwear agar bisa cepat kering. Hahaha.
|
Belum keliatan sunburn-nya |
Phuket memang lebih dikenal dunia berkat Phi-Phi Island-nya. Tapi belum lengkap rasanya kalau kesini tanpa mencicipi 'wisata khas' Thailand yang lain:
ladyboy show. Tidak semendunia
Tiffany's dan
Alcazar Show milik Pattaya memang, namun
Simon Cabaret Phuket worth to visit kok. Pastikan kalian memesan tiket secara
online beberapa hari sebelumnya, dipastikan harga lebih murah dibanding membeli
on the spot atau lewat agen tur.
Walau sudah pernah menonton Tiffany's Show, aku masih tetap saja dibuat terpukau oleh para penari
transgender ini. Baik karena tarian dan kostumnya, maupun juga kecantikan dan kemolekan tubuhnya yang selalu bikin sirik kaum wanita tulen. Kayak aku. Hiks.
"Itu suntik silikon kok, Lin." Eh buset. Aldo yang juga duduk di sampingku kok kayak bisa membaca isi hati gitu ya. Hahaha. Rasa
insecure pun hilang dalam sekejap mata. Makanya aku 'berminat' minta foto bareng para artis ini setelah pertunjukkan berakhir.
Honestly, waktu di Pattaya kemarin aku tidak berfoto dengan
ladyboy-nya karena ngerasa "kebanting". Cantik banget sih,
ladyboy di Tiffany's Pattaya, parah bangeeeet. Nggak heran sih, beberapa diantara mereka ada yang sudah menjuarai kontes kecantikan
transgender baik di Thailand maupun level internasional.
Penampilan tari-tarian para ladyboy di Simon Cabaret tak kalah memukau dengan Tiffany's Pattaya yang digadang-gadang sebagai ladyboy show terbaik di Thailand. Menurutku sih, kekompakan penari Simon belum seapik Tiffany's. Beberapa penari latar banyak yang salah timing, atau raut wajahnya kayak masih mengingat-ingat gerakan selanjutnya. Kurang profesional. Di sisi lain, pilihan lagu di pertunjukkan Simon justru lebih modern, terbukti dari dua nomor lagu dari Beyonce dan Rihanna yang seketika membuatku ikut bergoyang. Topel di sisi kananku juga tak kalah semangat mengikuti hentakan nada "Single Ladies" dan "This is What You Came For". Woohoo! Bener banget deh, this is what we came for!
DAY 4. MON, 24 APR. PHUKET-KL-JAKARTA
Hari masih gelap gulita saat kami bersiap berangkat menuju bandara. Lagi-lagi supir van (bukan 'Pak Siahaan' kemarin sih) terlambat menjemput kami yang kali ini berkumpul di hotel Hemingway aku dan Echa. Untunglah Thailand masih terletak di Asia Tenggara, coba kalau lebih ke utara, pasti kami sudah menggigil kedinginan berada di luar ruangan sepagi ini.
Selesai sudah kebersamaan "Geng Paduan Suara" selama backpacking tiga hari di Phuket. Kami berpencar di KLIA2, aku dan Bang Adi segera mengejar pesawat ke Jakarta, sementara empat makhluk lainnya menunggu pesawat sore-malam ke kota masing-masing.
Tetap ada drama sih di akhir perjalanan hahaha. AirAsia Phuket-KL mengalami delay hingga satu jam mengakibatkan waktu transit Bang Adi dan aku jadi sangat singkat. Aku bahkan tak sempat cipika-cipiki dengan Aldo yang duduk sebelahan dalam pesawat, saking in a rush untuk menuju bandara KLIA. Dari yang biasanya pakai kereta KL Transit antar-bandara, kami putuskan membuang duit RM 32 (seratus ribuan rupiah!) untuk taksi-an demi mengejar pesawat. Momen saat itu sempat membuatku kilas balik adegan kejar-kejaran pesawat saat mau ke Turki :') Puji Tuhan, ending kali ini berbeda. Counter check-in masih dibuka (bisa pulak lupa online check-in malam sebelumnya, hadeh) dan waktu 30 menit yang tersisa juga cukup bagiku dan Bang Adi untuk jalan cepat menuju gate.
Readers! Terima kasih banyak sudah singgah kesini ya. Pasti ada aja yang dalam hati ngomong, "Review Jepang belum selesai, udah ada aja yang Phuket..." Percayalah, aku pun kadang pusing karena kebanyakan catatan itinerary dan expense list di notes maupun otak hahaha. Yang sabar ya menghadapiku 😚 Sampai jumpa di trip review selanjutnya!
A journey is best measured with friends, rather than miles. - Tim Cahill
|
Thank you, Choristers, see you soon! |
***
--- THE ITINERARY ---
0 testimonial:
Post a Comment