Tinggal di Jakarta selama lebih dari lima tahun tidak serta-merta membuatku kenal seluk beluk Jakarta, atau bahkan mengetahui seluruh kisah tentang ibukota bersejarah ini. Suatu hari, seorang teman di Instagram mem-post perjalanannya bersama Jakarta Good Guide. Wah! Menarik sekali! Siapa mereka? Jakarta Good Guide alias JGG adalah sebuah layanan tur keliling Jakarta yang bersifat pay as you wish alias "terserah bayar berapa". Mereka memiliki 30 rute melingkupi Jakarta Utara, Barat, Timur, Selatan, dan Pusat yang beroperasi setiap akhir pekan (weekend). Lho kok wiken doang, mau dong hari Senin-Jumat juga! Boleh banget, kawan! Mereka juga melayani permintaan private tour kok, monggo langsung cek blog atau Instagramnya di @jktgoodguide.
Sekitar satu bulan setelah aku mem-follow JGG, akhirnya kesempatan untuk bergabung datang juga. Kupastikan seluruh kerjaan kantor dan skripsi rampung terlebih dahulu, barulah mendaftar ikut tur. Males banget kan kalau tiba-tiba aku harus membatalkan agenda menarik ini karena ada revisi Bab 4, atau dapat penugasan lembur ikut rapat 😅
Minggu, 17 Oktober 2021 adalah kali pertama bagiku ikut walking tour bersama JGG. Tur spesial ini diberi nama "A Walk To Understand: Going Around Glodok" yang merupakan kolaborasi JGG dengan 100 Persen Manusia, sebuah festival film yang mengutamakan isu-isu kemanusiaan. Kalau biasanya walking tour JGG bersifat pay as you wish, tur Glodok ini berbayar Rp100 ribu yang akan digunakan untuk program kerja 100 Persen Manusia. Ini juga yang bikin aku tertarik bergabung, karena ada commitment fee-nya. Kalau sudah bayar duluan gini, aku akan merasa lebih committed dan tidak mengalah pada rasa malas yang bisa saja tiba-tiba datang di hari H 😆
Oke, sekian panjang latar belakang dari walking tour bersama JGG, marilah kita masuk pada ulasan perjalanan tur Glodok selama 1 jam 45 menit. Let's get started!
Salah satu destinasi, Wihara Dharma Bakti |
10 orang peserta walking tour hari ini |
Meeting point dari tur Glodok ini adalah Pantjoran Tea House, sebuah kedai teh yang berdiri kokoh di ujung Jalan Pancoran. Kita bisa mengenalinya dengan mudah karena bentuknya yang sangat khas. Temboknya berwarna putih dengan arsitektur kolonial, berjendela panjang, beratap merah, dan memiliki plang merah dengan tulisan Tionghoa di depannya. Nggak mungkin nyasar deh.
Di depan pintu masuk, terdapat sebuah meja panjang yang memajang teko teh lengkap dengan gelasnya. Sebelum pandemi, teko teh ini berisi teh dan dapat diminum oleh pengunjungnya. Namun sekarang hanya untuk pajangan semata. Teko teh ini adalah tradisi "patekoan" yang diturunkan oleh Kapitan Gan Djie di tahun 1653-1666. Kapitan dan istrinya sering menyajikan delapan teko teh (patekoan) di depan kantor mereka secara gratis untuk para pejalan kaki yang kehausan.
Pantjoran Tea House di ujung Jl. Pancoran |
Apotheek Chung Hwa (sumber: Pantjoranteahouse) |
Sebelum menjadi kedai teh, gedung ini adalah sebuah apotek terkenal yang bernama "Apotheek Chung Hwa". Bahkan deretan ruko Jalan Pancoran ini dulunya, bahkan hingga sekarang, adalah deretan apotek atau toko obat. Nama Pancoran sendiri menurut Mas Farid -- guide hari ini -- berasal dari keberadaan pancuran air yang dulunya berada di jalan ini. Sekarang sih tinggal kali aja. Nah... istilah Glodok juga datangnya rupanya berasal dari pancuran air yang jika sedang mengalir/beroperasi akan menimbulkan bunyi "glodog-glodog". Itulah asal-usul penamaan kawasan ini menjadi Glodog atau Glodok. Menarik sekali ya? Awalnya kukira Glodok itu dari bahasa Tionghoa yang memiliki arti khusus. Ternyata dari bunyi kincir air!
Glodok dahulu kala (sumber: Tirto) |
Kawasan pecinan di Batavia tahun 1910 (sumber: Republika) |
Glodok dikenal dengan kawasan pecinan atau Chinatown-nya Jakarta karena mayoritas dihuni oleh penduduk etnis Tionghoa. Glodok ini merupakan salah satu kampung tertua di Jakarta, bahkan sudah ada sebelum pembentukan "Batavia" oleh VOC pada Mei 1619. Pada abad ke-17, Glodok berada di luar tembok benteng Batavia dan tidak termasuk pusat pemerintahan Belanda kala itu. Konon kehadiran warga Tionghoa di Batavia bermula dari tindakan VOC yang menculik banyak orang dari Cina Selatan untuk dijadikan pekerja karena orang Tionghoa terkenal memiliki sifat ulet, gigih, dan pekerja keras. Sejak saat itulah kawasan Glodok berkembang dan dikenal dengan nama pecinan atau daerah tempat tinggal warga Tionghoa.
Pada Oktober 1740, warga Tionghoa memberontak kepada VOC atas perlakuannya yang semena-mena (dikenal dengan "Geger Pecinan"). Pemberontakan ini berakhir dengan kekalahan penduduk Tionghoa, di mana VOC dengan kejam membunuh, merampok, dan membakar rumah mereka di sepanjang Kali Besar berdasarkan instruksi Gubernur Jenderal Valckenier. Pembantaian VOC tersebut menjadi asal mula nama wilayah "Angke" yang berarti "kali merah". Banyaknya bangkai manusia yang hanyut di kali menyebabkan warna air berubah jadi merah.
Selanjutnya di bulan November 1740, VOC membagi Kota Batavia menjadi beberapa distrik untuk tempat tinggal warga. Glodok yang berada di luar Batavia, ditetapkan VOC sebagai tempat tinggal para warga etnis China. Kawasan Glodok dipimpin oleh petugas/opsir yaitu Kapitan dan Letnan. Mereka diberi wewenang administratif oleh VOC untuk mengawasi aktivitas warga, dan juga menjadi penghubung antara warga Tionghoa dengan penguasa VOC.
Semua sejarah ini diceritakan oleh Mas Farid sambil memandangi sebuah display di sisi kanan Pantjoran Tea House. Di sisi ini terpajang sejumlah teko teh dan foto-foto hitam putih dari Jakarta zaman dahulu. Mas Farid juga menjelaskan bahwa di jalan raya ini dulunya terdapat jalur trem yang melintang. Jika jalan raya ini dibongkar pasti akan bisa ditemukan bekas-bekas rel trem yang tertimbun.
Koleksi teko dan foto tempoe doeloe di Pantjoran Tea House |
Trem listrik di depan Stasiun Kota circa 1899-1962 (sumber: Tramz) |
Dari Pantjoran Tea House, kami berjalan kaki ke Gang Gloria. Nama aslinya adalah Jalan Pintu Besar Selatan II namun lebih dikenal sebagai Gang Gloria karena dulunya ada gedung perbelanjaan "Gloria" yang sayangnya terbakar habis pada tahun 2010.
Kata Mas Farid, restoran yang paling terkenal di sini adalah Gado-Gado Direksi. Disebut seperti itu karena banyak direksi bank yang suka datang ke sini saat jam istirahat makan siang untuk makan gado-gado. Jadi jangan heran kalau harganya agak di atas rata-rata, karena memang biasa menjamu bos-bos. Di Gang Gloria ini terdapat banyak tempat kuliner. Untuk yang halal, selain gado-gado tadi, ada juga Ketupat Gloria 65, Soto Betawi Nyonya Afung, Kari Lam, dan cakwe (sumber: Getlost). Sedangkan kuliner yang non-halal ada Bakmie Amoy, Hosana, BOK, dan Nasi Campur Atak (sumber: Garvingoei).
Kopi Es Tak Kie (sumber: Minumkopi) |
Selanjutnya kami berjalan lagi ke arah gang yang lebih kecil, melewati kedai Kopi Es Tak Kie yang hampir tersembunyi oleh jejeran pedagang di sepanjang gang. Kami tak bisa berhenti di sana karena padatnya pejalan kaki di gang. Yang penting sudah tahu bahwa lokasinya di sini. Kopi Es Tak Kie tampak kecil dari kejauhan, tapi mungkin kalau sudah masuk di dalamnya akan terasa lebih luas ya. Dari luar kuamati hanya ada sedikit meja, mungkin sekitar 5-7 meja saja dengan masing-masing 4 kursi mengitarinya. Berarti jika ingin ke sini, harus rela menunggu sampai ada pengunjung yang pulang.
Berjejer rapi mendengar penjelasan dari Mas Farid |
Mas Farid dan Toko Manisan Pancoran Lestari |
Selanjutnya kami diajak ke Toko Manisan Pancoran Lestari, sebuah toko yang menjual berbagai jenis manisan seperti snack, permen, dan coklat. Mas Farid bercerita bahwa toko ini muncul di film "Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini". Toko yang sudah ada sejak tahun 2009 ini beroperasi mulai jam 7 pagi hingga 6 sore. Mas Farid membeli satu ons permen jelly yang serupa Yupi, dan membagi-bagikannya pada kami. Katanya ini salah satu permen yang paling laris.
Wihara Dharma Bakti/Klenteng Jin De Yuan |
Belum lengkap rasanya menjelajahi kawasan pecinan kalau belum bertemu klenteng. Kami mengunjungi Wihara Dharma Bakti atau Klenteng Jin De Yuan. Klenteng ini dibangun pada tahun 1650, dan konon sempat terbakar dalam peristiwa Geger Pecinan. Pada tahun 1965 terbit instruksi untuk menghilangkan nama-nama berunsur Tionghoa, sehingga namanya berubah menjadi Wihara Dharma Bakti. Tahun 2015, klenteng mengalami kebakaran akibat api lilin sehingga sebagian besar bangunannya musnah, menyisakan patung Dewi Kwan Im.
Dari wihara, kami melanjutkan perjalanan ke rumah ibadah lain yaitu Gereja Santa Maria de Fatima yang terletak di Jalan Kemenangan III. Sayangnya pintu gerbang ditutup karena halaman gereja kala itu dimanfaatkan untuk vaksinasi, jadi kami tidak bisa masuk bahkan ke pelatarannya. Kami harus puas hanya memandangi gereja megah ini dari luar. Sebelum pandemi, pengunjung diperbolehkan masuk ke dalam gereja jika sedang tidak ada misa. Peserta walking tour kala itu diperbolehkan masuk bahkan hingga ke ruangan-ruangan di belakang. Ah, sayang sekali, semoga aku berkesempatan main ke sini lagi.
Gereja Santa Maria de Fatima (sumber: Travelingyuk) |
Gereja Katolik yang terbentuk sejak tahun 1954 ini memiliki arsitektur yang bergaya Tiongkok Selatan atau Fukien. Bangunan ini awalnya adalah rumah milik Kapitan Tjioe, seorang warga keturunan Tionghoa yang memeluk agama Katolik. Terlihat dua buah patung singa mengapit bangunan utama, karena patung ini melambangkan kemegahan. Kapitan Tjioe menyerahkan rumah dan lahannya untuk dibeli oleh yayasan pendiri gereja yaitu Sekolah Ricci. Nah untuk sejarah lengkapnya bisa dibaca di situs gereja yaa.
Bunda Maria menampakkan diri kepada 3 anak kecil (Sumber: Detik) |
Mas Farid bercerita tentang nama gereja yang unik karena memakai "Fatima" yang notabene adalah anak dari Nabi Muhammad. Suatu penamaan yang jarang dan aneh, bukan? Rupanya penggunaan nama Fatima ini berasal dari kota Fatima, Spanyol, tempat terjadinya penampakkan Bunda Maria kepada tiga orang anak kecil pada tahun 1917. Dari kejadian ini, muncullah gelar Our Lady of Fatima yang ditujukan kepada Bunda Maria.
Oh ya, ketiga anak kecil tersebut juga digambarkan dalam diorama bukit doa. Diorama yang ada di halaman gereja ini menunjukkan ketiga anak sedang berlutut menyembah Our Lady of Fatima, dua di antaranya memiliki lingkaran halo di atas kepala. Kedua anak itu adalah kakak-beradik Fransisco dan Jacinta Marto yang meninggal di tahun 1919-20 karena epidemi influenza. Pada tahun 2017, keduanya dikanonisasi oleh Pope Francis (deklarasi santa/saint kepada orang yang sudah meninggal). Sedangkan anak kecil lainnya, Lucia dos Santos, menjadi biarawati hingga akhir hidupnya di tahun 2005. Proses kanonisasi untuk Lucia juga sedang dilakukan.
Klenteng Toa Se Bio |
Tadi ada Dharma Bakti, sekarang ada Wihara Dharma Jaya atau lebih dikenal dengan Klenteng Toa Se Bio. Letaknya tidak jauh dari Gereja Santa Maria de Fatima, hanya beberapa meter saja. Di sini kami bukan hanya melihat bangunannya dari luar saja, tapi diizinkan untuk masuk ke dalam klenteng. Minggu pagi ini klenteng ramai dengan umat yang datang untuk beribadah. Deretan motor parkir memenuhi halaman klenteng yang cukup sempit.
Klenteng sangat mudah dikenali dari jalanan, terutama dari sosok naga yang berada di atapnya. Warna bangunan pun merah menyala, baik bangunan utama klenteng maupun gedung yayasan di baliknya. Kata "Toasebio" sendiri adalah gabungan dari dua kata: Toase yaitu pesan, dan Bio yaitu klenteng. Dari halaman, kami bisa melihat para umat yang berdoa khusyuk sambil menyalakan hio di depan altar. Info dari Mas Farid, di dalam klenteng terdapat 18 altar yang diberi nomor secara berurutan untuk mempermudah prosesi ibadah pengunjung.
Seperti Dharma Bakti, klenteng ini pun tidak luput dari pembakaran saat peristiwa Geger Pecinan. Namun demikian, beberapa bagian klenteng tidak ikut terbakar seperti ornamen merah di bagian depan, ukiran kayu melingkar di sela lubang, dan empat tiang kayu penyanggah bangunan tengah. Semuanya masih asli dan tidak pernah diganti.
"Teman-teman, kita boleh masuk tapi bergantian dan cepat saja ya." Mas Farid mengajak kami, per 4 orang, untuk masuk ke dalam klenteng. Kunjungan kami singkat saja, tak sampai 2 menit di dalam. Kami masuk dari pintu depan, menuju altar, lalu berbelok kiri ke area samping, dan keluar lewat pintu belakang. Karena hanya melihat sekilas, aku tidak punya foto apa-apa di dalam klenteng. Toh tidak enak juga kan mengganggu orang yang beribadah dengan bunyi jepretan kamera.
Mencicipi Pia Laobeijing |
Dari wihara kami berjalan kaki lagi menuju destinasi terakhir. Lagi-lagi kami berjalan menyusuri gang kecil yang ramai dengan pedagang makanan. Salah satunya adalah Pia Laobeijing. Mas Farid membelikan kami semua pia sesuai pilihan rasa. Aku tentunya memesan rasa coklat. Pianya masih hangat dari panggangan, rasanya empuk dan coklatnya tidak terlalu manis. Beberapa anggota tur membeli lagi untuk oleh-oleh. Di seberang kios pia ini, ada rumah makan kecil vegetarian. Kami mencicipi 'daging' rendang vegan yang rasanya mendekati rendang asli. Hmm, sepertinya aku bisa sih jadi vegan kalau bisa makan ini setiap hari hahaha.
Deretan toko dan lapak di Jalan Pancoran |
Perhentian terakhir kami adalah Petak Enam, sejenis pusat kuliner yang belakangan ini terkenal sebagai tempat nongkrong baru di Jakarta. Dulunya bangunan ini adalah bagian dari Gedung Chandra, salah satu pusat perbelanjaan tertua di Jakarta selain Sarinah. Area parkir Chandra disulap menjadi semi-mall memukau ini. Saat ini ada sekitar 30 tenant yang beroperasi di Petak Enam, mayoritas adalah usaha kuliner. Di sini juga biasa diadakan pameran atau promosi, layaknya di mall besar.
Nama "Petak Enam" sendiri dipilih sebagai kaitan dengan Petak Sembilan, salah satu area di Glodok. Disebut "petak" karena banyaknya rumah petak yang dahulu kala memenuhi Glodok. Karena saat itu belum ada nama jalan, maka disebutlah "petak (ke-)sembilan" sebagai acuan arah. Pemilihan nama Petak Enam juga karena angka enam adalah angka yang bagus dalam feng shui.
Sebenarnya banyak tempat menarik di sini, ada makanan khas Cirebon, Palembang, Manado, Medan, dan tentu saja Tionghoa. Aku paling penasaran ingin mencicipi kuotie dan cempedak goreng. Sayangnya, di hari Minggu pagi jelang siang seperti ini, Petak Enam sungguh ramai dikunjungi keluarga maupun lajang untuk sarapan, brunch, atau makan siang. Aku masih insecure membuka masker di ruangan luas tanpa sekat ini. Jadi, marilah kita pulang, dan kapan-kapan saja balik lagi ke Petak Enam.
Oh ini toh yang namanya Petak Enam |
Terima kasih banyak, readers, sudah membaca cerita walking tour pertamaku bersama Jakarta Good Guide. Cerita ini juga jadi post perdana di tahun 2021, spesial sekali ya. Aku tak sabar ingin mengikuti tur-tur lainnya bersama JGG. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!
-----------------------------------------------------
Peta Glodok walking tour:
1. Serba-Serbi Glodok Kawasan Pecinan - Tirto
2. 13 Hari Pembantaian Orang Cina di Jakarta - Tirto
0 testimonial:
Post a Comment