Dari Jalan Antara, Mas Huans memimpin rombongan kami menuju Pasar Baru yang pada umumnya dikenal orang. Pasar Baru ini pada masanya adalah pusat perbelanjaan kaum elite, selevel Plaza Indonesia dan Pacific Place. Kalau mau dianggap sosialita, belanjanya harus di Passer Baroe. Biasanya pelanggan di Pasar Baru adalah orang-orang Belanda yang tinggal di Weltevreden.
Trivia dikit nih, readers. Pasar Baru kan ada di sini yaa, nah emang 'pasar lama' ada di mana? Rupanya pasar lama itu mengacu pada Pasar Senen dan Pasar Sabtu (sekarang Tanah Abang) yang ada sejak tahun 1730-an. Trivia lain, nama Kalijodo mengacu pada pesta rakyat zaman dulu bernama "Festival Pengcun" yang merupakan ajang para muda-mudi mencari jodoh. Sayangnya kemudian ajang ini disalahgunakan menjadi prostitusi. Sedangkan nama "Mangga Besar" dan "Sawah Besar" memang karena kedua kawasan itu dulunya adalah daerah pertanian.
Kami berkumpul di depan gerbang masuk Pasar Baru yang khas itu. Angka 1820 tertera besar di depan gerbang, menandakan tahun berdirinya pusat perbelanjaan ini. Toko-toko di sini dibangun dengan gaya arsitektur Tiongkok dan Eropa. Sebagaimana telah dijelaskan di Part 1, mayoritas penghuni kawasan ini adalah para pedagang yaitu warga keturunan Tiongkok, Arab, dan India. Tak heran di dalam Pasar Baru juga terdapat vihara dan kuil yang salah satunya akan kami singgahi di tur kali ini.
Vihara di sudut terdalam Pasar Baru |