Di hari ketiga, aku dan Bang Adi akan memulai perjalanan kami menuju another highlight of Morocco yaitu Gurun Sahara! Namun untuk menuju sana, kami terlebih dahulu berwisata di kota yang dikenal sebagai "Hollywood-nya Maroko". Di post ini, readers akan melihat banyak foto-foto dengan dominasi warna coklat dan merah. Kalian para moviegoers juga mungkin akan merasa... "Eh, kok aku familiar ya dengan bangunan itu?"
Pokoknya nikmati saja ya keindahan destinasi di cerita Trip Maroko bagian ke-2 berikut ini.
Tujuan utama Morocco trip hari ketiga |
DAY 3 - 11 NOVEMBER 2024
Sebenarnya untuk tiga hari mendatang kami mendaftar tur Gurun Sahara dan tidak backpacking atau jalan sendiri. Nah, biasanya kan aku senang mencantumkan nama tur dan kontak/media sosial... tapi kali ini akan jadi pengecualian. Aku pribadi cukup merasa kecewa oleh kelalaian operator tur ini, jadi kuputuskan untuk tidak merekomendasikan dia kepada readers sekalian. Aku yakin kok masih banyak operator tur lain yang bisa mengantarkan ke Sahara, dan pasti jauh lebih bertanggung jawab. "Apa yang terjadi, Lin?" Nanti akan kuceritakan.
Aku dan Bang Adi bangun pukul 06.00 pagi. Dibandingkan waktu bangun normalku di Jakarta, ini memang terlalu pagi. Tapi karena malamnya aku tidur lebih awal, jadi durasi tidurnya sudah tercukupi. Toh nanti kami akan menempuh perjalanan jauh dengan mobil, pasti banyak kesempatan untuk tidur.
Sempat terjadi sedikit kebingungan soal titik jemput, tapi akhirnya bisa teratasi. Singkat cerita, mobil tur kami siap berangkat dari Avenue Hommane Al Fatouaki Marrakesh pada pukul 08.00 (GMT+1). Syukurlah Bang Adi terlebih dahulu membeli sarapan berupa croissant, teh mint panas (mendidih!), dan jus jeruk, karena ternyata lambung ini tidak sanggup menunggu lebih lama lagi untuk diisi. Bisa-bisa aku mules sepanjang perjalanan kalau tidak sarapan berat. Di dalam mobil terdapat 13 orang peserta tur yang akan menjalani paket wisata 3 Days 2 Nights menuju Gurun Sahara.
Seperti inilah wujud mobil van yang kami naiki selama ikut tur |
Sejujurnya ada sedikit perasaan sedih ketika sadar bahwa aku harus meninggalkan Marrakesh setelah hanya menikmatinya 12 jam saja. Aku membayangkan pasti enak sekali jalan-jalan di trotoar sepanjang Avenue de President Kennedy, lalu berbelok kiri ke Avenue Prince Moulay Rachid atau mungkin singgah duduk-duduk di taman Menara Gardens, jika sempat bisa mengunjungi museum La Menara Pavillion. Kota Marrakesh terlihat sangat lovable dan walkable pertama kali aku memandanginya dari dalam jendela taksi. Sayang sekali, saat ini aku kembali hanya bisa memandangi dari dalam jendela mobil yang justru meninggalkan kota cantik ini. Kalau readers berkesempatan main ke Marrakesh dan ingin jalan-jalan menikmati kota, bisa mengunjungi tempat-tempat wisata yang disarankan situs Passporter.
Strolling around near Koutobia Mosque (Sumber: Getyourguide) |
Perjalanan yang kami tempuh terasa cukup jauh, syukurnya aku dan Bang Adi masing-masing menempati kursi single jadi terasa lebih leluasa untuk menggeser posisi duduk. Khususnya aku yang punya masalah lutut ini bisa memanjangkan kaki sesekali. Sekitar 1,5 jam berkendara, van kami berhenti di sebuah bangunan yang telah ramai dengan jejeran van. Nama yang tertera di atas bangunan adalah "Cafe Restaurant Tizi ait Barka". Restoran Barka Tizi ini terletak di tepi jalur pegunungan Atlas dan menjadi salah satu tempat singgah populer untuk beristirahat sejenak. Sebagian turis yang mampir tampak membeli minuman hangat dan cemilan yang kemudian dinikmati di dalam kafe. Sebagian sisanya memilih untuk turun ke lantai underground dan mengantre untuk memakai toilet; aku dan Bang Adi salah satunya. Oh ya, kebanyakan toilet publik di Maroko dikenakan biaya 2-5 dirham tergantung lokasinya, jadi readers wajib menyiapkan uang koin.
Sambil menghabiskan jatah waktu istirahat 15 menit, aku dan Bang Adi memilih untuk foto-foto di sekitar restoran. Coklat hangatnya memang menggoda, tapi perut kami masih terisi berkat croissant saat sarapan tadi.
Pemandangan dari balkon belakang Restoran Barka Tizi |
Ketika aku meneliti kembali rute perjalanan kami dari Marrakesh ke Gurun Sahara, barulah aku pahami bahwa kami memang sedang melewati Pegunungan Atlas. Nama "Atlas" sendiri konon berasal dari bahasa Berber, suku asli Afrika, yaitu "adrar/adras" yang berarti gunung. Jajaran pegunungan ini terbentang sejauh 2.600 kilometer melalui Maroko, Aljazair, dan Tunisia, yang memisahkan Gurun Sahara dengan Samudera Atlantik -- yang namanya diambil dari kata "Atlas".
Pemandangan di luar jendela didominasi area tanah lapang, entah ladang, bukit hijau, bahkan puncak-puncak gunung berwarna coklat terakota yang menjulang tinggi. Nah... yang terakhir ini menandakan kita telah tiba di salah satu rute paling terkenal di Maroko yaitu "Tizi n'Tichka Pass". Dikenal juga sebagai "Lintasan Tichka" rute ini merupakan lintasan gunung tertinggi di Afrika Utara, mencapai ketinggian 2.260 mdpl, yang dimulai di kota Marrakesh menuju gerbang Gurun Sahara.
Lintasan Tizi n'Tichka yang terletak di jantung Pegunungan Atlas Tinggi Maroko sangatlah terkenal karena pemandangan alamnya yang menakjubkan. Banyak pelancong yang memutuskan untuk menyewa mobil dan menyetir sendiri agar lebih puas menikmati bahkan memotret lintasan ini. Lihat saja foto di atas, sulit rasanya memalingkan wajah ketika menemukan view seindah itu di luar jendela kita. Bukan hanya pemandangannya, lekuk jalanannya pun menantang karena banyak belokan dan tikungan dengan kontur yang naik-turun.
Lintasan Tizi n'Tichka yang sangat memukau (Sumber: Ouarzazate City) |
Sekitar satu jam dari restoran Barka Tizi, mobil kami kembali berhenti di sebuah titik yang merupakan viewpoint untuk melihat Lintasan Tichka. Kalau readers ingin menandainya di peta, bisa cari titik "Tizi n'Tichka panoramic views". Hal pertama yang terlihat tentunya adalah sejumlah barang dagangan yang berderet di tempat parkir, seolah mengundang para wisatawan untuk mampir membeli satu atau dua buah tangan. Di kejauhan, lintasan Tizi n'Tichka tampak spektakuler, meskipun tidak seperti foto yang ada di atas. Aku mengambil waktu beberapa menit untuk berdiri diam mengagumi ciptaan Allah Yehuwa yang sangat indah, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Aku selalu senang melihat piring-piring cantik Maroko |
Bisakah kalian melihat kelok-kelok Lintasan Tichka? |
Akhirnya! Setelah bermobil ±4 jam, kami tiba juga di destinasi utama hari ini yaitu provinsi Ouarzazate. Selain pegunungan Atlas dan lembah Dades, provinsi satu ini terkenal di mata dunia karena keberadaan desa Ait Ben Haddou atau Aït Benhaddou, sebuah desa berbenteng atau "ksar" yang seluruhnya terbuat dari batu bata tanah liat. Bahan dasar tanah liat inilah yang membuat bangunannya jadi berwarna coklat kemerahan.
Aït Benhaddou dari kejauhan |
Pemandu dan rombongan kami siang ini |
Syafier sang guide selama di Aït Benhaddou |
Benar saja dugaan Bang Adi. Di perhentian kedua di dalam ksar, kami menemukan foto Syafier terpampang di dinding serupa galeri. Dia memang berperan di sejumlah film berlatar belakang Maroko, yang paling kuingat adalah "Gladiator 2" dan "Prince of Persia". Aït Benhaddou sendiri memang menjadi tempat syuting sejumlah film ternama seperti Jewel of the Nile (1985), The Mummy (1999), Gladiator (2000), Prince of Persia (2008), Game of Thrones S3 (2012), dan yang paling baru yaitu Gladiator 2 (2023).
Peran Syafier dalam berbagai film |
Aït Benhaddou dalam film "Game of Thrones" (Sumber: Earth's Magical Places) |
Aït Benhaddou merupakan sebuah desa terfortifikasi/desa berbenteng/"ksar" yang dibangun dengan bahan utama berupa tanah liat. Bangunan tanah liat adalah jenis arsitektur tradisional khas Moroko yang memang cukup terkenal di seluruh dunia. "Ksar" sendiri adalah sebutan untuk sekelompok bangunan tanah yang dikelilingi tembok tinggi, yang kemudian diperkuat dengan menara di sudut-sudutnya. Karena definisinya yang terbatas pada "sekelompok bangunan dari tanah liat", ksar bisa saja berbentuk sederhana ataupun megah, dan kerap diterjemahkan sebagai "desa" ataupun "istana".
Desa yang sudah berdiri sejak abad ke-11 ini telah tercatat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1987, empat tahun lebih awal dari Borobudur dan Prambanan yang dicatat pada 1991. Ternyata ada banyak ksar lain di Maroko, tapi Aït Benhaddou adalah yang paling terkenal karena sering dijadikan tempat syuting film. Tak heran sih, karena Ouarzazate pun sering dijuluki orang sebagai "Hollywood-nya Maroko." Ada dua studio film di wilayah ini dan salah satunya akan kami kunjungi sore nanti.
Ksar Ait Benhaddou berada seberang sungai Ounila |
Ksar terletak di lereng bukit di sebelah Sungai ("asif") Ounila. Secara umum, ksar terdiri dari bangunan rumah dan komunitas seperti masjid, caravanserai (penginapan), kasbah (benteng seperti kastil) dan Marabout Sidi Ali atau Amer. Di puncak bukit, yang menghadap ke ksar, terdapat sisa-sisa lumbung besar yang dibentengi ("agadir"). Ada juga alun-alun umum, pemakaman Muslim, dan pemakaman Yahudi, namun seingatku tidak sempat kami kunjungi. Di luar tembok ksar terdapat area tempat gandum ditanam dan diirik.
Syafier bercerita tentang letak geografis dan sejarah ksar |
Mari menyeberangi sungai |
Dua ekor unta tengah beristirahat di luar tembok desa |
Penjelasan sebelum memasuki galeri |
Abdou yang melukis dengan cat tiga warna |
Butuh sekian jam untuk puas melihat seisi galeri |
Pintu masuk menuju mesjid |
Karpet adalah salah satu komoditas dagang utama di desa ini |
Jejeran pakaian dan kain siap dibeli |
Warna-warna kain kontras dengan coklatnya tembok dan lantai |
Area pasar di kaki bukit kecil yang berada dekat ksar |
Salah satu iconic spot di puncak ksar yaitu lubang di tembok |
Sungai di kejauhan tempat kami mengawali perjalanan |
A closer look of the paintings for sale |
Saat ini, ksar hanya dihuni oleh beberapa keluarga. Depopulasi dari waktu ke waktu merupakan akibat dari hilangnya kepentingan strategis lembah tersebut pada abad ke-20. Sebagian besar penduduk lokal sekarang tinggal di area yang lebih modern di desa di seberang sungai. Mereka mencari nafkah dari pertanian, dan terutama dari pariwisata. Sebuah jembatan penyeberangan baru selesai dibangun pada tahun 2011 yang menghubungkan ksar lama dengan desa modern.
Jembatan yang menuju desa modern |
Para penduduk ksar kini banyak menetap di desa seberang |
Puas mengitari Aït Benhaddou, Syafier menuntun kami masuk ke toko suvenir yang berada dekat kawasan parkir mobil. Di sini para turis diyakinkan untuk membeli kain yang nanti bisa dipakai sebagai turban selama di Gurun Sahara. Kami yang sudah duluan berbelanja di Marrakesh merasa beruntung sekali, karena sebagaimana tempat wisata pada umumnya, harga kain di sini lebih mahal sekitar 50-100 dirham. Asyik kan bisa berhemat 🤑
Sebelum berpisah dengan Syafier dan Aït Benhaddou, rombongan kami singgah dulu ke salah satu restoran untuk makan siang. Nah seperti yang kuceritakan di post sebelumnya, di titik inilah aku menyadari bahwa restoran Maroko terbiasa menyajikan makanan full course, alias dimulai dengan appetizer, lanjut main menu, lalu ditutup dengan dessert yang biasanya berupa buah-buahan. Ditambah lagi selalu ada roti yang disajikan free flow, dijamin kenyang deh tiap keluar restoran. Untuk harga, bervariasi di tiap restoran namun ada di kisaran 120-140 dirham untuk full course menu alias Rp250ribuan sekali makan. Lumayan mahal juga ya ternyata.
Chicken tajine dan 'salad' sebagai pencuci mulut |
Kami masih singgah di dua tempat lagi setelah Aït Benhaddou. Pertama, Atlas Studio Ouarzazate di mana kami hanya boleh turun sebentar dan melihat-lihat selama 10 menit. Singkat saja karena kami harus bayar tiket lagi jika ingin melihat area indoor studio. Waktunya pun tidak cukup karena memang area studio cukup luas, tercermin dari peta di foto di bawah. Dari gerbang "Entree Production" sekilas tampak koleksi kendaraan tank dan 4WD yang digunakan untuk syuting film. Tidak jauh dari gerbang masuk terdapat Hotel Oscar yang pernah diinapi oleh artis Hollywood ternama seperti Nicole Kidman dan Angelina Jolie.
Singgah sebentar di Atlas Studio Ouarzazate |
Patung Mesir di luar gerbang utama Atlas Studio |
2,5 jam berselang, van kami berhenti di Monkey Paw Mountains. Matahari mulai terbenam dan langit tampak menggelap. Tapi mata masih mudah mengenali deretan bukit bebatuan coklat-merah yang punya kontur menarik dan tampak menyerupai ruas-ruas jari. Formasi dan pola lekuk batuannya sangatlah unik, jadi pasti akan lebih indah jika kami tiba saat matahari masih cukup tinggi. Di beberapa reviu Google Maps bahkan disebutkan bahwa wisatawan bisa mendaki pegunungan ini.
Pola lekukan batu ini tercipta karena aliran air. Sungai Dades mengalir melewati ngarai di pegunungan ini, dan seiring waktu alirannya mengikis formasi batuan di punggung gunung, sehingga tampaklah kontur seperti jari-jari yang menjulang dari bumi. Di sini aku hanya mampu bertahan 5 menit di luar mobil, saking tidak kuat dengan suhu dinginnya yang mencapai 10℃! Mana mungkin aku kuat, suhu terdingin AC kamarku bahkan mentok di 20℃.
Tak kuat berlama-lama karena suhunya yang 10℃ |
Okeee.. Sekarang kita masuk ke bagian penuh keluhan. Kalau readers adalah orang yang positif dan tidak suka membaca cerita yang negatif, boleh banget lho nge-skip tiga paragraf berikut.
Di bagian ini aku akan mengisahkan tentang awal mula kelalaian operator tur kami. Saat istirahat makan siang, aku menyimak pembicaraan antara 5 orang perempuan di rombongan kami (di antaranya ada Gabriella asal Argentina dan Laura dari Italia). Mereka saling tukar informasi bahwa mereka memesan paket tur yang "luxury" dan katanya hotel malam ini akan dibedakan antara peserta yang luxury dan reguler. Aku dan Bang Adi juga memesan paket luxury, tapi aku tidak tahu soal informasi ini. Kupikir hanya penginapan di Gurun Sahara saja yang dibedakan. Tapi jadi masuk akal juga sih, soalnya perbedaan antara dua paket tur ini lumayan gede yaitu 600 dirham (Rp1,2 juta!).
Ketika diantar ke hotel, kelima perempuan ini turun duluan. Aku langsung mencolek Bang Adi dan menceritakan soal percakapan mereka siang tadi. Harapanku, Bang Adi akan langsung bilang ke supir bahwa kami juga harusnya ada di hotel ini. Tapi dasar aku dan Bang Adi sama-sama 'pasrahan', kami tidak bersuara dan memilih untuk tetap lanjut dengan 6 orang lainnya.
Setibanya di hotel, barulah aku menyesalkan kebisuanku. Kami mendapat kamar di lantai 4 yang hanya bisa ditempuh dengan tangga. Lalu kamar yang kami dapatkan bertipe queen bed, padahal jelas-jelas kami memesan kamar twin bed. Semakin emosi lagi aku ketika turun ke resepsionis untuk meminta selimut ekstra, mereka malah memberi remote AC dengan berpesan, "Nyalain saja mode heater, nanti kalian tidak akan lagi merasa kedinginan." HALAH. Pokoknya jangan tanyakan aku nama operator tur ini ya, apalagi nama hotel tempat kami menginap. Terlalu traumatis. Oh ya satu hal lagi: WiFi di kamarnya lemot banget! Untung saja kami memakai Maroc Telecom yang cukup kencang meskipun di daerah dataran tinggi.
Makan malam bersama di hotel |
Kekesalanku sedikit terobati karena hidangan makan malamnya -- chicken tajine, as always -- cukup enak dan mengenyangkan. Aku juga akhirnya berkenalan dengan Zohr, salah satu dari 13 anggota rombongan van kami. Zohr dan suaminya, Mohammed, asli berkebangsaan Maroko tapi tinggal di Paris. Mereka berada di Marrakesh untuk liburan, khususnya untuk mengeksplor Gurun Sahara. Selama dua hari sisa tur, kami berempat jadi cukup akrab dan sering mengobrol. Thanks to Zohr, the trip became much more enjoyable 😍
Lega sekali rasanya bisa menulis keluh kesahku di atas, karena selama trip hanya bisa kupendam sendiri. Sebenarnya memang ada baiknya sih aku pendam, tapi kan aku jadi tidak punya alasan untuk tidak merekomendasikan operator tur yang kupakai hehehe... Mohon maaf dan mohon dimaklumi ya readers. Semoga kita semua dijauhkan dari drama-drama tidak penting saat nge-trip, amin!
Sekian lah cerita tentang Ouarzazate dan desa berbenteng Aït Benhaddou. Di bagian tiga blogpost nanti, aku akan bercerita tentang Gurun Sahara! Ah, nggak sabar pengen berbagi cerita dan foto-fotonya.
Terima kasih sudah mampir, readers!
Bonus foto cantikku 💕 |