December 17, 2024

Desa yang Mendunia di Ouarzazate - Morocco Trip Pt. 2

Di hari ketiga, aku dan Bang Adi akan memulai perjalanan kami menuju another highlight of Morocco yaitu Gurun Sahara! Namun untuk menuju sana, kami terlebih dahulu berwisata di kota yang dikenal sebagai "Hollywood-nya Maroko". Di post ini, readers akan melihat banyak foto-foto dengan dominasi warna coklat dan merah. Kalian para moviegoers juga mungkin akan merasa... "Eh, kok aku familiar ya dengan bangunan itu?" 

Pokoknya nikmati saja ya keindahan destinasi di cerita Trip Maroko bagian ke-2 berikut ini.

Tujuan utama Morocco trip hari ketiga 


DAY 3 - 11 NOVEMBER 2024

Sebenarnya untuk tiga hari mendatang kami mendaftar tur Gurun Sahara dan tidak backpacking atau jalan sendiri. Nah, biasanya kan aku senang mencantumkan nama tur dan kontak/media sosial... tapi kali ini akan jadi pengecualian. Aku pribadi cukup merasa kecewa oleh kelalaian operator tur ini, jadi kuputuskan untuk tidak merekomendasikan dia kepada readers sekalian. Aku yakin kok masih banyak operator tur lain yang bisa mengantarkan ke Sahara, dan pasti jauh lebih bertanggung jawab. "Apa yang terjadi, Lin?" Nanti akan kuceritakan.

Aku dan Bang Adi bangun pukul 06.00 pagi. Dibandingkan waktu bangun normalku di Jakarta, ini memang terlalu pagi. Tapi karena malamnya aku tidur lebih awal, jadi durasi tidurnya sudah tercukupi. Toh nanti kami akan menempuh perjalanan jauh dengan mobil, pasti banyak kesempatan untuk tidur.

Sempat terjadi sedikit kebingungan soal titik jemput, tapi akhirnya bisa teratasi. Singkat cerita, mobil tur kami siap berangkat dari Avenue Hommane Al Fatouaki Marrakesh pada pukul 08.00 (GMT+1). Syukurlah Bang Adi terlebih dahulu membeli sarapan berupa croissant, teh mint panas (mendidih!), dan jus jeruk, karena ternyata lambung ini tidak sanggup menunggu lebih lama lagi untuk diisi. Bisa-bisa aku mules sepanjang perjalanan kalau tidak sarapan berat. Di dalam mobil terdapat 13 orang peserta tur yang akan menjalani paket wisata 3 Days 2 Nights menuju Gurun Sahara. 

Seperti inilah wujud mobil van yang kami naiki selama ikut tur


Sejujurnya ada sedikit perasaan sedih ketika sadar bahwa aku harus meninggalkan Marrakesh setelah hanya menikmatinya 12 jam saja. Aku membayangkan pasti enak sekali jalan-jalan di trotoar sepanjang Avenue de President Kennedy, lalu berbelok kiri ke Avenue Prince Moulay Rachid atau mungkin singgah duduk-duduk di taman Menara Gardens, jika sempat bisa mengunjungi museum La Menara Pavillion. Kota Marrakesh terlihat sangat lovable dan walkable pertama kali aku memandanginya dari dalam jendela taksi. Sayang sekali, saat ini aku kembali hanya bisa memandangi dari dalam jendela mobil yang justru meninggalkan kota cantik ini. Kalau readers berkesempatan main ke Marrakesh dan ingin jalan-jalan menikmati kota, bisa mengunjungi tempat-tempat wisata yang disarankan situs Passporter.

Strolling around near Koutobia Mosque
(Sumber: Getyourguide)


Perjalanan yang kami tempuh terasa cukup jauh, syukurnya aku dan Bang Adi masing-masing menempati kursi single jadi terasa lebih leluasa untuk menggeser posisi duduk. Khususnya aku yang punya masalah lutut ini bisa memanjangkan kaki sesekali. Sekitar 1,5 jam berkendara, van kami berhenti di sebuah bangunan yang telah ramai dengan jejeran van. Nama yang tertera di atas bangunan adalah "Cafe Restaurant Tizi ait Barka". Restoran Barka Tizi ini terletak di tepi jalur pegunungan Atlas dan menjadi salah satu tempat singgah populer untuk beristirahat sejenak. Sebagian turis yang mampir tampak membeli minuman hangat dan cemilan yang kemudian dinikmati di dalam kafe. Sebagian sisanya memilih untuk turun ke lantai underground dan mengantre untuk memakai toilet; aku dan Bang Adi salah satunya. Oh ya, kebanyakan toilet publik di Maroko dikenakan biaya 2-5 dirham tergantung lokasinya, jadi readers wajib menyiapkan uang koin.

Sambil menghabiskan jatah waktu istirahat 15 menit, aku dan Bang Adi memilih untuk foto-foto di sekitar restoran. Coklat hangatnya memang menggoda, tapi perut kami masih terisi berkat croissant saat sarapan tadi.

Pemandangan dari balkon belakang Restoran Barka Tizi


Ketika aku meneliti kembali rute perjalanan kami dari Marrakesh ke Gurun Sahara, barulah aku pahami bahwa kami memang sedang melewati Pegunungan Atlas. Nama "Atlas" sendiri konon berasal dari bahasa Berber, suku asli Afrika, yaitu "adrar/adras" yang berarti gunung. Jajaran pegunungan ini terbentang sejauh 2.600 kilometer melalui Maroko, Aljazair, dan Tunisia, yang memisahkan Gurun Sahara dengan Samudera Atlantik -- yang namanya diambil dari kata "Atlas".  

Pemandangan di luar jendela didominasi area tanah lapang, entah ladang, bukit hijau, bahkan puncak-puncak gunung berwarna coklat terakota yang menjulang tinggi. Nah... yang terakhir ini menandakan kita telah tiba di salah satu rute paling terkenal di Maroko yaitu "Tizi n'Tichka Pass". Dikenal juga sebagai "Lintasan Tichka" rute ini merupakan lintasan gunung tertinggi di Afrika Utara, mencapai ketinggian 2.260 mdpl, yang dimulai di kota Marrakesh menuju gerbang Gurun Sahara.

Lintasan Tizi n'Tichka yang terletak di jantung Pegunungan Atlas Tinggi Maroko sangatlah terkenal karena pemandangan alamnya yang menakjubkan. Banyak pelancong yang memutuskan untuk menyewa mobil dan menyetir sendiri agar lebih puas menikmati bahkan memotret lintasan ini. Lihat saja foto di atas, sulit rasanya memalingkan wajah ketika menemukan view seindah itu di luar jendela kita. Bukan hanya pemandangannya, lekuk jalanannya pun menantang karena banyak belokan dan tikungan dengan kontur yang naik-turun. 

Lintasan Tizi n'Tichka yang sangat memukau
(Sumber: Ouarzazate City)


Sekitar satu jam dari restoran Barka Tizi, mobil kami kembali berhenti di sebuah titik yang merupakan viewpoint untuk melihat Lintasan Tichka. Kalau readers ingin menandainya di peta, bisa cari titik "Tizi n'Tichka panoramic views". Hal pertama yang terlihat tentunya adalah sejumlah barang dagangan yang berderet di tempat parkir, seolah mengundang para wisatawan untuk mampir membeli satu atau dua buah tangan. Di kejauhan, lintasan Tizi n'Tichka tampak spektakuler, meskipun tidak seperti foto yang ada di atas. Aku mengambil waktu beberapa menit untuk berdiri diam mengagumi ciptaan Allah Yehuwa yang sangat indah, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Aku selalu senang melihat piring-piring cantik Maroko

Bisakah kalian melihat kelok-kelok Lintasan Tichka?


Akhirnya! Setelah bermobil ±4 jam, kami tiba juga di destinasi utama hari ini yaitu provinsi Ouarzazate. Selain pegunungan Atlas dan lembah Dades, provinsi satu ini terkenal di mata dunia karena keberadaan desa Ait Ben Haddou atau Aït Benhaddou, sebuah desa berbenteng atau "ksar" yang seluruhnya terbuat dari batu bata tanah liat. Bahan dasar tanah liat inilah yang membuat bangunannya jadi berwarna coklat kemerahan.


Aït Benhaddou dari kejauhan


Aït Benhaddou: desa yang mendunia dari Ouarzazate


Sebelum memulai eksplorasi, kami terlebih dulu dikumpulkan untuk mendengar arahan tour guide. Kami dan rombongan dua van lain akan dipandu oleh SyafierYes, you read it right, bukan "Syarif" ya 😉 Kesan pertama tentang Syafier: tinggi banget! Pasti di bangku sekolah dulu dia diperebutkan oleh tim basket dan voli. Bang Adi sejak awal langsung terkesima melihat Syafier, selain karena tinggi badannya yang mencapai 2 meter (!) juga karena wajah beliau yang familiar. "Kayaknya dia ini pernah main film deh, Erlin, soalnya aku pernah lihat mukanya jadi figuran-figuran gitu," tandas Bang Adi. Aku pun serasa flashback ke kenangan kami di Irlandia ketika mendapat guide yang turut berakting di "Game of Thrones"

Pemandu dan rombongan kami siang ini


Syafier sang guide selama di Aït Benhaddou


Benar saja dugaan Bang Adi. Di perhentian kedua di dalam ksar, kami menemukan foto Syafier terpampang di dinding serupa galeri. Dia memang berperan di sejumlah film berlatar belakang Maroko, yang paling kuingat adalah "Gladiator 2" dan "Prince of Persia". Aït Benhaddou sendiri memang menjadi tempat syuting sejumlah film ternama seperti Jewel of the Nile (1985), The Mummy (1999), Gladiator (2000), Prince of Persia (2008), Game of Thrones S3 (2012), dan yang paling baru yaitu Gladiator 2 (2023). 

Peran Syafier dalam berbagai film


Aït Benhaddou dalam film "Game of Thrones"
(Sumber: Earth's Magical Places)


Aït Benhaddou merupakan sebuah desa terfortifikasi/desa berbenteng/"ksar" yang dibangun dengan bahan utama berupa tanah liat. Bangunan tanah liat adalah jenis arsitektur tradisional khas Moroko yang memang cukup terkenal di seluruh dunia. "Ksar" sendiri adalah sebutan untuk sekelompok bangunan tanah yang dikelilingi tembok tinggi, yang kemudian diperkuat dengan menara di sudut-sudutnya. Karena definisinya yang terbatas pada "sekelompok bangunan dari tanah liat", ksar bisa saja berbentuk sederhana ataupun megah, dan kerap diterjemahkan sebagai "desa" ataupun "istana".

Desa yang sudah berdiri sejak abad ke-11 ini telah tercatat sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1987, empat tahun lebih awal dari Borobudur dan Prambanan yang dicatat pada 1991. Ternyata ada banyak ksar lain di Maroko, tapi Aït Benhaddou adalah yang paling terkenal karena sering dijadikan tempat syuting film. Tak heran sih, karena Ouarzazate pun sering dijuluki orang sebagai "Hollywood-nya Maroko." Ada dua studio film di wilayah ini dan salah satunya akan kami kunjungi sore nanti. 

Ksar Ait Benhaddou berada seberang sungai Ounila


Ksar terletak di lereng bukit di sebelah Sungai ("asif") Ounila. Secara umum, ksar terdiri dari bangunan rumah dan komunitas seperti masjid, caravanserai (penginapan), kasbah (benteng seperti kastil) dan Marabout Sidi Ali atau Amer. Di puncak bukit, yang menghadap ke ksar, terdapat sisa-sisa lumbung besar yang dibentengi ("agadir"). Ada juga alun-alun umum, pemakaman Muslim, dan pemakaman Yahudi, namun seingatku tidak sempat kami kunjungi. Di luar tembok ksar terdapat area tempat gandum ditanam dan diirik.




Syafier bercerita tentang letak geografis dan sejarah ksar

Mari menyeberangi sungai

Dua ekor unta tengah beristirahat di luar tembok desa 

Setibanya di ksar, kami langsung mendapatkan tur yang komprehensif dipandu oleh Syafier. Dia menjelaskan dengan begitu detil, mulai dari wujud kunci gerbang pertama ksar -- lupa kufoto tapi bentuknya cukup besar dan kuno -- hingga kondisi dalam rumah-rumah tradisional di ksar. Seingatku sih kami tidak masuk ke dalam salah satu rumah di sini, tapi sudah cukup terbayang bagaimana kesederhanaannya. 


Penjelasan sebelum memasuki galeri


Salah satu area paling berkesan bagiku adalah galeri pada foto-foto di bawah ini. Lelaki berbaju hitam ini adalah Abdou, seorang seniman yang punya teknik unik dalam melukis. Abdou hanya menggunakan tiga warna untuk lukisannya yaitu kuning, biru, dan hitam. Kenapa hanya tiga itu? Karena ketiganya mudah didapatkan dari bahan tradisional. Kuning dari saffron/kunyit, biru dari tanaman indigo, dan hitam dari arang. Teknik melukis ini digunakan oleh suku Berber turun-temurun, menjadi ciri khas suvenir khas Maroko selatan. Di galeri ini juga terpajang koleksi foto Syafier sebagai figuran, dan keseluruhan ksar sebagai latar belakang film-film Hollywood.

Abdou yang melukis dengan cat tiga warna

Butuh sekian jam untuk puas melihat seisi galeri 


Total dua jam kami habiskan untuk menjelajahi Aït Benhaddou. Beberapa kali kami berhenti mendengarkan cerita dari Syafier, namun lebih banyak lagi waktu untuk memotret sana-sini. Matahari memang sudah terik di atas kepala, tapi rasanya sayang sekali kalau tidak memanfaatkan waktu ini untuk mereguk semua keindahan desa berbenteng ini.

Silakan menikmati beberapa hasil jepretanku selama di desa ini...
 

Pintu masuk menuju mesjid


Karpet adalah salah satu komoditas dagang utama di desa ini


Jejeran pakaian dan kain siap dibeli


Warna-warna kain kontras dengan coklatnya tembok dan lantai


Area pasar di kaki bukit kecil yang berada dekat ksar

Salah satu iconic spot di puncak ksar yaitu lubang di tembok


Sungai di kejauhan tempat kami mengawali perjalanan

A closer look of the paintings for sale


Saat ini, ksar hanya dihuni oleh beberapa keluarga. Depopulasi dari waktu ke waktu merupakan akibat dari hilangnya kepentingan strategis lembah tersebut pada abad ke-20. Sebagian besar penduduk lokal sekarang tinggal di area yang lebih modern di desa di seberang sungai. Mereka mencari nafkah dari pertanian, dan terutama dari pariwisata. Sebuah jembatan penyeberangan baru selesai dibangun pada tahun 2011 yang menghubungkan ksar lama dengan desa modern.

Jembatan yang menuju desa modern

Para penduduk ksar kini banyak menetap di desa seberang


Puas mengitari Aït Benhaddou, Syafier menuntun kami masuk ke toko suvenir yang berada dekat kawasan parkir mobil. Di sini para turis diyakinkan untuk membeli kain yang nanti bisa dipakai sebagai turban  selama di Gurun Sahara. Kami yang sudah duluan berbelanja di Marrakesh merasa beruntung sekali, karena sebagaimana tempat wisata pada umumnya, harga kain di sini lebih mahal sekitar 50-100 dirham. Asyik kan bisa berhemat 🤑

Sebelum berpisah dengan Syafier dan Aït Benhaddou, rombongan kami singgah dulu ke salah satu restoran untuk makan siang. Nah seperti yang kuceritakan di post sebelumnya, di titik inilah aku menyadari bahwa restoran Maroko terbiasa menyajikan makanan full course, alias dimulai dengan appetizer, lanjut main menu, lalu ditutup dengan dessert yang biasanya berupa buah-buahan. Ditambah lagi selalu ada roti yang disajikan free flow, dijamin kenyang deh tiap keluar restoran. Untuk harga, bervariasi di tiap restoran namun ada di kisaran 120-140 dirham untuk full course menu alias Rp250ribuan sekali makan. Lumayan mahal juga ya ternyata.

Chicken tajine dan 'salad' sebagai pencuci mulut


Kami masih singgah di dua tempat lagi setelah Aït Benhaddou. Pertama, Atlas Studio Ouarzazate di mana kami hanya boleh turun sebentar dan melihat-lihat selama 10 menit. Singkat saja karena kami harus bayar tiket lagi jika ingin melihat area indoor studio. Waktunya pun tidak cukup karena memang area studio cukup luas, tercermin dari peta di foto di bawah. Dari gerbang "Entree Production" sekilas tampak koleksi kendaraan tank dan 4WD yang digunakan untuk syuting film. Tidak jauh dari gerbang masuk terdapat Hotel Oscar yang pernah diinapi oleh artis Hollywood ternama seperti Nicole Kidman dan Angelina Jolie.

Singgah sebentar di Atlas Studio Ouarzazate



Patung Mesir di luar gerbang utama Atlas Studio


2,5 jam berselang, van kami berhenti di Monkey Paw Mountains. Matahari mulai terbenam dan langit tampak menggelap. Tapi mata masih mudah mengenali deretan bukit bebatuan coklat-merah yang punya kontur menarik dan tampak menyerupai ruas-ruas jari. Formasi dan pola lekuk batuannya sangatlah unik, jadi pasti akan lebih indah jika kami tiba saat matahari masih cukup tinggi. Di beberapa reviu Google Maps bahkan disebutkan bahwa wisatawan bisa mendaki pegunungan ini.

Pola lekukan batu ini tercipta karena aliran air. Sungai Dades mengalir melewati ngarai di pegunungan ini, dan seiring waktu alirannya mengikis formasi batuan di punggung gunung, sehingga tampaklah kontur seperti jari-jari yang menjulang dari bumi. Di sini aku hanya mampu bertahan 5 menit di luar mobil, saking tidak kuat dengan suhu dinginnya yang mencapai 10! Mana mungkin aku kuat, suhu terdingin AC kamarku bahkan mentok di 20℃.


Tak kuat berlama-lama karena suhunya yang 10℃


Okeee.. Sekarang kita masuk ke bagian penuh keluhan. Kalau readers adalah orang yang positif dan tidak suka membaca cerita yang negatif, boleh banget lho nge-skip tiga paragraf berikut.

Di bagian ini aku akan mengisahkan tentang awal mula kelalaian operator tur kami. Saat istirahat makan siang, aku menyimak pembicaraan antara 5 orang perempuan di rombongan kami (di antaranya ada Gabriella asal Argentina dan Laura dari Italia). Mereka saling tukar informasi bahwa mereka memesan paket tur yang "luxury" dan katanya hotel malam ini akan dibedakan antara peserta yang luxury dan reguler. Aku dan Bang Adi juga memesan paket luxury, tapi aku tidak tahu soal informasi ini. Kupikir hanya penginapan di Gurun Sahara saja yang dibedakan. Tapi jadi masuk akal juga sih, soalnya perbedaan antara dua paket tur ini lumayan gede yaitu 600 dirham (Rp1,2 juta!).

Ketika diantar ke hotel, kelima perempuan ini turun duluan. Aku langsung mencolek Bang Adi dan menceritakan soal percakapan mereka siang tadi. Harapanku, Bang Adi akan langsung bilang ke supir bahwa kami juga harusnya ada di hotel ini. Tapi dasar aku dan Bang Adi sama-sama 'pasrahan', kami tidak bersuara dan memilih untuk tetap lanjut dengan 6 orang lainnya.

Setibanya di hotel, barulah aku menyesalkan kebisuanku. Kami mendapat kamar di lantai 4 yang hanya bisa ditempuh dengan tangga. Lalu kamar yang kami dapatkan bertipe queen bed, padahal jelas-jelas kami memesan kamar twin bed. Semakin emosi lagi aku ketika turun ke resepsionis untuk meminta selimut ekstra, mereka malah memberi remote AC dengan berpesan, "Nyalain saja mode heater, nanti kalian tidak akan lagi merasa kedinginan." HALAH. Pokoknya jangan tanyakan aku nama operator tur ini ya, apalagi nama hotel tempat kami menginap. Terlalu traumatis. Oh ya satu hal lagi: WiFi di kamarnya lemot banget! Untung saja kami memakai Maroc Telecom yang cukup kencang meskipun di daerah dataran tinggi.

Makan malam bersama di hotel


Kekesalanku sedikit terobati karena hidangan makan malamnya -- chicken tajine, as always -- cukup enak dan mengenyangkan. Aku juga akhirnya berkenalan dengan Zohr, salah satu dari 13 anggota rombongan van kami. Zohr dan suaminya, Mohammed, asli berkebangsaan Maroko tapi tinggal di Paris. Mereka berada di Marrakesh untuk liburan, khususnya untuk mengeksplor Gurun Sahara. Selama dua hari sisa tur, kami berempat jadi cukup akrab dan sering mengobrol. Thanks to Zohr, the trip became much more enjoyable 😍 


Lega sekali rasanya bisa menulis keluh kesahku di atas, karena selama trip hanya bisa kupendam sendiri. Sebenarnya memang ada baiknya sih aku pendam, tapi kan aku jadi tidak punya alasan untuk tidak merekomendasikan operator tur yang kupakai hehehe... Mohon maaf dan mohon dimaklumi ya readers. Semoga kita semua dijauhkan dari drama-drama tidak penting saat nge-trip, amin!

Sekian lah cerita tentang Ouarzazate dan desa berbenteng Aït Benhaddou. Di bagian tiga blogpost nanti, aku akan bercerita tentang Gurun Sahara! Ah, nggak sabar pengen berbagi cerita dan foto-fotonya.

Terima kasih sudah mampir, readers!

Bonus foto cantikku 💕

November 29, 2024

36 Jam Menuju Marrakesh - Morocco Trip Pt. 1

Halo readers yang sangat kurindukan! Lama banget ya kita nggak ketemu di platform ini. Kalian gimana kabarnya? Semoga selalu sehat dan bahagia ya! *peluk satu-satu*

Kali ini aku mau memulai rangkaian ulasan perjalanan tentang... MAROKO! Destinasi ini adalah overseas trip terjauhku tahun ini. Oh berarti ada yang lebih deket? Adaaa hehe tapi I'll talk about it later ya. Aku ke Maroko pada musim gugur 2024 bersama seorang travelmate yang sangat sering kusebut di blog ini: Bang Supriadi. Jalan-jalan berdua doang apa serunya? Seru banget dong, yang pasti aku nggak perlu mengantre untuk jadi objek potretan Bang Adi yang selalu cakep hasilnya itu hahaha.

Nggak sabar mau ketemu Marrakesh


Yuk lah mari mulai cerita tentang perjalanan ke Maroko, negara pertamaku di benua Afrika 😍


DAY 1 - 9 NOVEMBER 2024

Aku memulai perjalanan dengan terbang dari Jakarta ke Singapura, sedangkan Bang Adi berangkat dari Denpasar. Perjalanan Bang Adi memang lebih jauh dan lebih lama, tapi tidak perlu khawatir karena beliau berangkat dengan nyaman berkat kelas bisnisnya hahaha. Dari Singapura barulah kami naik pesawat bersama menuju Casablanca, dengan terlebih dahulu transit di Jeddah - Arab Saudi.

Jika menghitung durasi penerbangan dan transit, aku menghabiskan 33 jam dari Jakarta untuk menginjakkan kaki di Maroko. Woah! Ini bahkan lama dari waktu perjalananku ke Eropa tahun lalu. Baru sekarang lah aku menyadari sejauh apa benua Afrika itu 😅

Rute penerbangan Jakarta-Casablanca


Belum berakhir di situ, aku dan Bang Adi masih harus berpindah kota menuju destinasi pertama kami yaitu kota Marrakesh. Genaplah total perjalananku menjadi 36 jam!

Anyway... Belum afdol rasanya kalau transit di Changi tanpa mengunjungi Jewel. Aku si penikmat air terjun tentunya selalu rindu melihat Jewel tiap mampir di bandara ini. Memang tidak pernah membosankan sih transit di Changi. Kita bisa jalan-jalan dari satu terminal ke terminal lain dengan mudah, asalkan punya waktu transit yang cukup. Banyak toko yang menarik dan ada saja instalasi apik di sekitar bandara; kemarin aku melihat dekorasi Hello Kitty sebelum gerbang keberangkatan internasional. 


Maskapai Garuda Indonesia mengantarku menuju Changi



Cantiknya instalasi toko LV di Bandara Changi


Mengingat ini merupakan perdana bagiku pelesir ke benua Afrika, aku sangat bersyukur melewatkannya bersama Bang Adi, travelmate yang bisa kuandalkan dan punya pemikiran serupa dalam beberapa hal. 

Salah satu contohnya adalah keputusan Bang Adi memakai lounge di bandara Jeddah. Sungguh mempermudah hidup karena kami bisa duduk santai menunggu boarding sambil mencicip makanan & minuman lounge sepuasnya. Yang terpenting sih kami jadi bisa memakai WiFi, soalnya WiFi bandara buluk banget, kalah sama WiFi di Casablanca apalagi Changi. 

"Wah, pasti mahal ya pakai lounge 3 jam?" Gratis dong HEHEHE. Kok bisa? Entahlah, the power of Bang Adi dan berbagai kartu kreditnya. Tapi hanya berlaku untuk satu kali kunjungan, alias tidak bisa diklaim lagi saat balik ke Singapura nanti. 

Readers di sini sudah pada follow akun Instagram-nya Bang Adi belum? 😆 Kalian bisa dapat banyak tawaran promo tiket pesawat, hotel, dan atraksi lho. Follow aja dulu, suatu saat nanti pasti butuh! 


Terima kasih Bang Adi untuk lounge gratisnya! 


Catatan penting soal transit di Jeddah: pastikan kalian membawa colokan kaki tiga ya, karena power outlet di Arab Saudi berbeda dengan Indonesia. Karena lupa membawa connector, kami baru bisa nge-charge di Casablanca. Untungnya Maroko pakai colokan tipe C seperti di Indonesia. 

 

DAY 2 - 10 NOVEMBER 2024

Sekitar pukul 13.00 (GMT+1) pesawat kami mendarat di bandara Casablanca Mohammed V (CMN) dengan mulus tanpa kendala. Proses imigrasi dan pengambilan bagasi pada dasarnya berjalan lancar. Itu pun berkat Bang Adi yang sudah menyiapkan berkas-berkas hotel dan tiket dalam bentuk printed alias dicetak fisik. Jadi ketika petugas imigrasi bertanya tentang tempat kami menginap dan rencana pulang, Bang Adi sigap langsung menyerahkan kertas-kertasnya. Aku melihat beberapa orang di jalur kiri dan kanan sempat tersendat karena tidak siap ketika ditanyai ini-itu.

Hal pertama yang kami lakukan setelah keluar bandara adalah mencari money exchange untuk menukarkan Euro yang kubawa dari Jakarta ke mata uang Maroko yaitu dirham. Menurut Bang Adi, kursnya lebih menguntungkan daripada langsung menukar rupiah ke dirham. Untungnya kami juga menemukan bank Al Barid ini yang mau membeli Euro di kisaran 10 dirham, saat money exchange lain pukul rata di angka 9 dirham.


Bank dengan kurs terbaik yang kami temukan di bandara

Sudah memegang lembaran dirham, kami pun beralih ke to-do-list kedua yaitu membeli kartu SIM lokal. Kios ini lebih mudah dicari karena ramai dihinggapi orang yang baru keluar dari arrival gate. Ada dua operator terkenal yang tersedia di bandara: Maroc Telecom dan Orange, pilihan kami jatuh pada yang pertama. Kalau dibandingkan, Maroc ini sekuat jaringannya Telkomsel alias di tengah gurun pun tetap ada sinyal. Memang teruji sih... ketika di Gurun Sahara, di tenda "luxury" yang tak ber-WiFi, aku masih bisa mengakses internet sepuasnya berkat Maroc Telecom. Oh ya, harga satu kartu SIM dengan kapasitas 20 GB adalah 200 dirham, belum termasuk tip 😏 (Nanti akan kuceritakan soal tip-mengetip ini)

Seperti yang kusebutkan di awal, kami masih harus melanjutkan perjalanan pindah kota. Dari bandara CMN kami membeli tiket kereta -- sejenis KRL lah -- menuju pusat kota, tepatnya ke stasiun Casa Voyageurs. Selanjutnya kami beli tiket lagi untuk kereta jarak jauh menuju Marrakesh. Harga tiket keretanya lumayan mahal juga ternyata... 96 dirham untuk si 'KRL' dan 160 dirham untuk jarak jauh. Kalau readers ada yang berencana naik kereta jarak jauh seperti kami, wajib perhatikan karcisnya ya apakah ada tulisan nomor kursi atau tidak. Meskipun dibeli berbarengan, nomor kursiku dan Bang Adi terpisah jauh bahkan beda gerbong. Alhasil selama 3 jam perjalanan aku tidak punya teman ngobrol. Untungnya pemandangan di luar jendela cakep, jadi aku bisa larut menikmati view dan foto-foto.


Tiket dari bandara ke kota Casablanca 


Sama aja kok kayak Indonesia: ramai dan berdesak-desakan


Bagian dalam kereta jarak jauh menuju Marrakesh


Banyak pemandangan gurun coklat sepanjang perjalanan


Pukul 16.00 (GMT+1) waktu setempat, tibalah kami di Marrakesh, sebuah kota di barat daya Maroko yang terkenal dengan pasar Berber terbesar dan merupakan kota perdagangan terbesar kedua setelah Casablanca. Meskipun ibukota Maroko adalah Rabat, Marrakesh justru adalah kota yang paling terkenal di kalangan wisatawan. 

"Lin, tadi menyebut 'Berber' itu apaan?" Penjelasan lengkapnya akan aku bahas di part 2 yaa, tapi pada intinya Berber adalah nama suku atau etnis asli Afrika yang paling banyak tersebar di Maroko dan Aljazair. Ada kisah menarik soal suku Berber ini, harap bersabar ya!

Gare du Marrakesh alias Stasiun Marrakesh


Petit Taxi, warnanya beda-beda di setiap kota
(Sumber: Morocco Cab)


Di kota Marrakesh ini kami pertama kali merasakan culture shock terkait taksi! Awalnya kami pikir, adaptasi yang perlu dilakukan hanyalah soal tawar-menawar tarif. Ternyata... kami pun harus terbiasa melihat taksi dicegat orang lain, bahkan saat kami sudah duduk di dalam! Misalnya, aku dan Bang Adi sudah naik taksi nih menuju titik A. Lalu dalam perjalanan, ada si Fulan mencegat taksi dan mau ke titik B. Jika kedua titik ini berdekatan, sopir taksi tetap akan mengambil si Fulan. Ada yang minta izin dulu, tapi seringnya tidak. Lagipula amat jarang sopir taksi yang bisa berbahasa Inggris. Si Fulan tetap ditariki ongkos? Tentu saja! 

Jangan tanya aku kenapa sistemnya demikian hahaha. Sampai saat menulis cerita ini pun, aku masih terheran-heran. Padahal kalau dipikir-pikir si taksi merah ini adalah perusahaan taksi satu-satunya di Maroko, jadi mereka tidak perlu berebut penumpang. Pasti akan selalu ada konsumen tersedia. Jadi kenapa sih harus ngoyo mengambil penumpang yang beda grup???

Tarif taksi dari stasiun ke area hotel sebesar 50 dirham. Itu pun kami diturunkan di pom bensin Shell di Avenue El Mouahidine, karena mobil tidak diizinkan lewat di kawasan itu. Maka berjalan kaki lah kami menembus gang-gang sekitar 500 meter. Bang Adi terlihat sangat excited karena apiknya gang-gang Marrakesh dengan warna khas coklat dan merah. Di sepanjang gang banyak terlihat plang bertuliskan "Riad", artinya "hotel". Kalau readers mendadak ke Marrakesh dan tidak sempat memesan hotel online, rasa-rasanya akan mudah saja menemukan penginapan di sekitar lokasi ini. 


Aku paling suka mengamati motif pintu di Maroko


Kamar untuk satu malam di Marrakesh

Setelah cuci muka dan ganti baju, Bang Adi langsung mengajak pergi ke tempat paling nge-hits di Marrakesh: Jemaa al-Fnaa. Ini adalah nama pasar (souk) sekaligus alun-alun terbesar di Afrika yang menjadi highlight utama kota Marrakesh di mata dunia. Kurang afdal rasanya kalau ke Marrakesh tapi tidak main ke sini. Di Jemaa al-Fnaa ini kalian akan menemukan jejeran restoran, kios pop-up, pengamen... pokoknya begitu ramai manusia berlalu-lalang di lokasi ini.



Apa saja yang bisa kalian temukan di foto ini?

 

Cakepnya Jemaa el-Fna dari ketinggian 


Alun-alun Jemaa el-Fna yang didirikan pada abad ke-11 merupakan salah satu ruang budaya utama di Marrakesh. Tempat ini menjadi pusat unik tradisi budaya populer Maroko yang ditampilkan melalui ekspresi musik, agama, dan seni. Sepanjang hari hingga larut malam, kita bisa melihat berbagai macam atraksi: pengobatan tradisional, ramalan, jasa tato henna, permainan musik, hingga pemancingan khas pasar malam. Di pinggir-pinggirnya kita bisa mampir di kios buah, kudapan tradisional, dan masakan seafood. Sejumlah pertunjukan oleh pendongeng, penyair, pawang ular, musisi Berber (mazighen), penari Gnaoua, dan pemain senthir (hajouj) bisa kita nikmati di alun-alun ini. Tapi wajib berhati-hati dan menjaga barang bawaan, karena di keramaian seperti ini biasanya banyak copet dan scammer merajalela.


Kafe/restoran atap adalah yang paling laris di alun-alun ini 

Agar bisa menikmati Jemaa al-Fnaa sepenuhnya, kami mencari terrace cafe alias kafe/resto di atap yang bisa memberi pemandangan alun-alun dari ketinggian. Kafe pertama yang kami kunjungi adalah Le grand balcon du café glacier yang hanya menyediakan minuman saja. Karena kami datang pada waktu prime time alias menjelang sunset, tak heran kafe ini sudah ramai dengan pengunjung, baik yang duduk menikmati minuman ataupun sibuk mengambil foto dari tepi balkon berteralis.

Sedang asyik jeprat-jepret, tiba-tiba ada satu pasangan yang memandangi kami dengan senyum manis. Menilai wajah dan perawakannya, aku hampir yakin mereka adalah orang Korea atau Jepang. Eh ternyata mereka orang Malaysia yang berbahasa Melayu sehingga bisa menangkap percakapanku dan Bang Adi sedari tadi. Ya ampun, kebetulan sekali! Di Maroko ini memang tidak begitu banyak turis Asia Tenggara, cukup 'kebanting' dengan jumlah turis Eropa. Karena mereka sudah nongkrong di kafe itu sedari tadi, mereka pun langsung menyerahkan meja-kursinya untuk kami tempati. Ah, suka banget deh sama 'persaudaraan' bangsa Asia! 

Dari kafe pertama, kami beralih mencari restoran untuk makan malam. Perut sudah mulai meronta minta diisi makanan padat yang bergizi. Setelah menelusuri beberapa restoran, pilihan kami jatuh pada Cafe Rouge yang tampaknya belum begitu ramai. Hidangannya pun tampak meyakinkan jika dilihat sekilas dari buku menu. "Kita cari 'tajine' yuk Erlin," pesan Bang Adi saat kami mulai menyeleksi restoran. Itu adalah menu khas Maroko yang paling populer. Oke deh, mari kita coba pesan. 

Sambil menunggu datangnya makanan, kami menonton matahari perlahan-lahan terbenam di barat. Cantiiik sekaliii~ Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa indahnya langit Maroko sore itu. Keriuhan musik dan suara pedagang di alun-alun pun seakan menambah meriah suasana. Aku kini tak heran kenapa banyak orang suka pada Marrakesh.
 

Menunggu matahari terbenam

 


Little did I know, makan malam kali ini akan menjadi makanan a la carte terakhir kami selama beberapa hari ke depan. Rupanya budaya di Maroko adalah full course meal alias hidangan lengkap mulai dari appetizer, main menu, dan ditutup dessert. Kami sebagai orang Indonesia yang biasanya langsung 'lompat' ke menu utama sering merasa kewalahan dengan sistem ini. Tapi nanti lah ya kusimpan ceritanya untuk part 3 nanti. Sekarang, mari nikmati dulu tajine lezat di hadapan ini.

"Tajine" sendiri adalah hidangan semur tradisional khas Afrika utara yang dimasak di panci/pot "tajine" yaitu pot tanah liat. Panci ini dimasak secara tradisional di atas arang panas, tapi modern ini juga bisa dimasak dalam oven atau di atas kompor. Karena asal namanya, tajine akan disajikan di meja makan langsung di atas pot tanah liat. 

Lauknya sendiri ada tiga jenis: mqualli (ayam dan jeruk), kefta (bakso daging sapi dan tomat), dan mrouzia (domba, plum, dan almond). Untuk malam ini aku memesan mqualli alias ayam dan Bang Adi memesan mrouzia alias daging domba. Selama tujuh hari di Maroko, menu makan siang/malam kami tidak jauh-jauh dari ketiga jenis tajine. Bosen gak sih tajine melulu? Sebenarnya rasanya enak, aku pun juga suka makan semur ayam dan daging di Indonesia. Tapi ya jujur ADA BANGET sih bosennya 😅  


  


Selama di Maroko, kami terbiasa mendengar istilah asing yang hampir selalu ada di setiap kota. Misalnya "riad" yang merujuk pada hotel, "madrassa" alias (yes, you guessed it correctly!) sekolah, dan "hammam" yang berarti bathhouse atau pemandian umum. 

Istilah lain yang populer adalah "medina" atau "madinah" alias pusat kota yang cenderung kecil, tua, dan bersejarah. Ini bertolak belakang dengan pusat kota modern seperti yang biasa kulihat di Jakarta. Kemudian ada "souk" alias pasar jalanan tradisional yang biasanya berada di dalam medina ataupun di luar tak jauh dari pusatnya. Souk sering kali berupa labirin jalan dan gang sempit, seringkali tidak bisa dilewati kendaraan kecuali gerobak atau satu-dua ekor keledai pengangkut barang. Lokasi kami malam ini, Jemaa al-Fnaa, adalah kawasan medina yang punya souk di dalamnya.

Aku dan Bang Adi memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di area souk atau pasar. Tujuan utamanya adalah untuk mencari kain selendang yang berfungsi sebagai turban saat tur Gurun Sahara. Mataku dikenyangkan dengan cantiknya kain, karpet, keramik, bahkan kudapan yang berwarna-warni. Rasanya ingin kupotret semua isi pasar... tapi memang banyak hal lebih baik dinikmati dengan mata telanjang saja. Aku dan Bang Adi mati-matian menahan diri untuk tidak belanja di sini. Masa baru hari pertama di Maroko udah borong sih? Hahaha. Kami pun 'hanya' membeli sehelai kain turban masing-masing seharga 50 dirham (=Rp1,600).



Perut sudah kenyang, badan sudah letih, maka sudah saatnya kami beristirahat. Aku dan Bang Adi memutuskan untuk langsung pulang ke hotel meskipun waktu 'baru' menunjukkan pukul 21:00. Besok pagi-pagi sekali kami harus bangun untuk naik mobil travel menuju kota selanjutnya. Ah, aku jadi nggak sabar ingin menceritakan kisahnya!

Terima kasih sudah mampir, readers, balik lagi nanti yaa untuk baca cerita Maroko part 2. Oh ya, mohon maaf kalau situs blog ini sering bermasalah, entah server-nya Blogger yang sedang gangguan atau akibat aku yang menganggurkan blog ini setahun lebih hahaha.