November 29, 2024

36 Jam Menuju Marrakesh - Morocco Trip Pt. 1

Halo readers yang sangat kurindukan! Lama banget ya kita nggak ketemu di platform ini. Kalian gimana kabarnya? Semoga selalu sehat dan bahagia ya! *peluk satu-satu*

Kali ini aku mau memulai rangkaian ulasan perjalanan tentang... MAROKO! Destinasi ini adalah overseas trip terjauhku tahun ini. Oh berarti ada yang lebih deket? Adaaa hehe tapi I'll talk about it later ya. Aku ke Maroko pada musim gugur 2024 bersama seorang travelmate yang sangat sering kusebut di blog ini: Bang Supriadi. Jalan-jalan berdua doang apa serunya? Seru banget dong, yang pasti aku nggak perlu mengantre untuk jadi objek potretan Bang Adi yang selalu cakep hasilnya itu hahaha.

Nggak sabar mau ketemu Marrakesh


Yuk lah mari mulai cerita tentang perjalanan ke Maroko, negara pertamaku di benua Afrika 😍


DAY 1 - 9 NOVEMBER 2024

Aku memulai perjalanan dengan terbang dari Jakarta ke Singapura, sedangkan Bang Adi berangkat dari Denpasar. Perjalanan Bang Adi memang lebih jauh dan lebih lama, tapi tidak perlu khawatir karena beliau berangkat dengan nyaman berkat kelas bisnisnya hahaha. Dari Singapura barulah kami naik pesawat bersama menuju Casablanca, dengan terlebih dahulu transit di Jeddah - Arab Saudi.

Jika menghitung durasi penerbangan dan transit, aku menghabiskan 33 jam dari Jakarta untuk menginjakkan kaki di Maroko. Woah! Ini bahkan lama dari waktu perjalananku ke Eropa tahun lalu. Baru sekarang lah aku menyadari sejauh apa benua Afrika itu 😅

Rute penerbangan Jakarta-Casablanca


Belum berakhir di situ, aku dan Bang Adi masih harus berpindah kota menuju destinasi pertama kami yaitu kota Marrakesh. Genaplah total perjalananku menjadi 36 jam!

Anyway... Belum afdol rasanya kalau transit di Changi tanpa mengunjungi Jewel. Aku si penikmat air terjun tentunya selalu rindu melihat Jewel tiap mampir di bandara ini. Memang tidak pernah membosankan sih transit di Changi. Kita bisa jalan-jalan dari satu terminal ke terminal lain dengan mudah, asalkan punya waktu transit yang cukup. Banyak toko yang menarik dan ada saja instalasi apik di sekitar bandara; kemarin aku melihat dekorasi Hello Kitty sebelum gerbang keberangkatan internasional. 


Maskapai Garuda Indonesia mengantarku menuju Changi



Cantiknya instalasi toko LV di Bandara Changi


Mengingat ini merupakan perdana bagiku pelesir ke benua Afrika, aku sangat bersyukur melewatkannya bersama Bang Adi, travelmate yang bisa kuandalkan dan punya pemikiran serupa dalam beberapa hal. 

Salah satu contohnya adalah keputusan Bang Adi memakai lounge di bandara Jeddah. Sungguh mempermudah hidup karena kami bisa duduk santai menunggu boarding sambil mencicip makanan & minuman lounge sepuasnya. Yang terpenting sih kami jadi bisa memakai WiFi, soalnya WiFi bandara buluk banget, kalah sama WiFi di Casablanca apalagi Changi. 

"Wah, pasti mahal ya pakai lounge 3 jam?" Gratis dong HEHEHE. Kok bisa? Entahlah, the power of Bang Adi dan berbagai kartu kreditnya. Tapi hanya berlaku untuk satu kali kunjungan, alias tidak bisa diklaim lagi saat balik ke Singapura nanti. 

Readers di sini sudah pada follow akun Instagram-nya Bang Adi belum? 😆 Kalian bisa dapat banyak tawaran promo tiket pesawat, hotel, dan atraksi lho. Follow aja dulu, suatu saat nanti pasti butuh! 


Terima kasih Bang Adi untuk lounge gratisnya! 


Catatan penting soal transit di Jeddah: pastikan kalian membawa colokan kaki tiga ya, karena power outlet di Arab Saudi berbeda dengan Indonesia. Karena lupa membawa connector, kami baru bisa nge-charge di Casablanca. Untungnya Maroko pakai colokan tipe C seperti di Indonesia. 

 

DAY 2 - 10 NOVEMBER 2024

Sekitar pukul 13.00 (GMT+1) pesawat kami mendarat di bandara Casablanca Mohammed V (CMN) dengan mulus tanpa kendala. Proses imigrasi dan pengambilan bagasi pada dasarnya berjalan lancar. Itu pun berkat Bang Adi yang sudah menyiapkan berkas-berkas hotel dan tiket dalam bentuk printed alias dicetak fisik. Jadi ketika petugas imigrasi bertanya tentang tempat kami menginap dan rencana pulang, Bang Adi sigap langsung menyerahkan kertas-kertasnya. Aku melihat beberapa orang di jalur kiri dan kanan sempat tersendat karena tidak siap ketika ditanyai ini-itu.

Hal pertama yang kami lakukan setelah keluar bandara adalah mencari money exchange untuk menukarkan Euro yang kubawa dari Jakarta ke mata uang Maroko yaitu dirham. Menurut Bang Adi, kursnya lebih menguntungkan daripada langsung menukar rupiah ke dirham. Untungnya kami juga menemukan bank Al Barid ini yang mau membeli Euro di kisaran 10 dirham, saat money exchange lain pukul rata di angka 9 dirham.


Bank dengan kurs terbaik yang kami temukan di bandara

Sudah memegang lembaran dirham, kami pun beralih ke to-do-list kedua yaitu membeli kartu SIM lokal. Kios ini lebih mudah dicari karena ramai dihinggapi orang yang baru keluar dari arrival gate. Ada dua operator terkenal yang tersedia di bandara: Maroc Telecom dan Orange, pilihan kami jatuh pada yang pertama. Kalau dibandingkan, Maroc ini sekuat jaringannya Telkomsel alias di tengah gurun pun tetap ada sinyal. Memang teruji sih... ketika di Gurun Sahara, di tenda "luxury" yang tak ber-WiFi, aku masih bisa mengakses internet sepuasnya berkat Maroc Telecom. Oh ya, harga satu kartu SIM dengan kapasitas 20 GB adalah 200 dirham, belum termasuk tip 😏 (Nanti akan kuceritakan soal tip-mengetip ini)

Seperti yang kusebutkan di awal, kami masih harus melanjutkan perjalanan pindah kota. Dari bandara CMN kami membeli tiket kereta -- sejenis KRL lah -- menuju pusat kota, tepatnya ke stasiun Casa Voyageurs. Selanjutnya kami beli tiket lagi untuk kereta jarak jauh menuju Marrakesh. Harga tiket keretanya lumayan mahal juga ternyata... 96 dirham untuk si 'KRL' dan 160 dirham untuk jarak jauh. Kalau readers ada yang berencana naik kereta jarak jauh seperti kami, wajib perhatikan karcisnya ya apakah ada tulisan nomor kursi atau tidak. Meskipun dibeli berbarengan, nomor kursiku dan Bang Adi terpisah jauh bahkan beda gerbong. Alhasil selama 3 jam perjalanan aku tidak punya teman ngobrol. Untungnya pemandangan di luar jendela cakep, jadi aku bisa larut menikmati view dan foto-foto.


Tiket dari bandara ke kota Casablanca 


Sama aja kok kayak Indonesia: ramai dan berdesak-desakan


Bagian dalam kereta jarak jauh menuju Marrakesh


Banyak pemandangan gurun coklat sepanjang perjalanan


Pukul 16.00 (GMT+1) waktu setempat, tibalah kami di Marrakesh, sebuah kota di barat daya Maroko yang terkenal dengan pasar Berber terbesar dan merupakan kota perdagangan terbesar kedua setelah Casablanca. Meskipun ibukota Maroko adalah Rabat, Marrakesh justru adalah kota yang paling terkenal di kalangan wisatawan. 

"Lin, tadi menyebut 'Berber' itu apaan?" Penjelasan lengkapnya akan aku bahas di part 2 yaa, tapi pada intinya Berber adalah nama suku atau etnis asli Afrika yang paling banyak tersebar di Maroko dan Aljazair. Ada kisah menarik soal suku Berber ini, harap bersabar ya!

Gare du Marrakesh alias Stasiun Marrakesh


Petit Taxi, warnanya beda-beda di setiap kota
(Sumber: Morocco Cab)


Di kota Marrakesh ini kami pertama kali merasakan culture shock terkait taksi! Awalnya kami pikir, adaptasi yang perlu dilakukan hanyalah soal tawar-menawar tarif. Ternyata... kami pun harus terbiasa melihat taksi dicegat orang lain, bahkan saat kami sudah duduk di dalam! Misalnya, aku dan Bang Adi sudah naik taksi nih menuju titik A. Lalu dalam perjalanan, ada si Fulan mencegat taksi dan mau ke titik B. Jika kedua titik ini berdekatan, sopir taksi tetap akan mengambil si Fulan. Ada yang minta izin dulu, tapi seringnya tidak. Lagipula amat jarang sopir taksi yang bisa berbahasa Inggris. Si Fulan tetap ditariki ongkos? Tentu saja! 

Jangan tanya aku kenapa sistemnya demikian hahaha. Sampai saat menulis cerita ini pun, aku masih terheran-heran. Padahal kalau dipikir-pikir si taksi merah ini adalah perusahaan taksi satu-satunya di Maroko, jadi mereka tidak perlu berebut penumpang. Pasti akan selalu ada konsumen tersedia. Jadi kenapa sih harus ngoyo mengambil penumpang yang beda grup???

Tarif taksi dari stasiun ke area hotel sebesar 50 dirham. Itu pun kami diturunkan di pom bensin Shell di Avenue El Mouahidine, karena mobil tidak diizinkan lewat di kawasan itu. Maka berjalan kaki lah kami menembus gang-gang sekitar 500 meter. Bang Adi terlihat sangat excited karena apiknya gang-gang Marrakesh dengan warna khas coklat dan merah. Di sepanjang gang banyak terlihat plang bertuliskan "Riad", artinya "hotel". Kalau readers mendadak ke Marrakesh dan tidak sempat memesan hotel online, rasa-rasanya akan mudah saja menemukan penginapan di sekitar lokasi ini. 


Aku paling suka mengamati motif pintu di Maroko


Kamar untuk satu malam di Marrakesh

Setelah cuci muka dan ganti baju, Bang Adi langsung mengajak pergi ke tempat paling nge-hits di Marrakesh: Jemaa al-Fnaa. Ini adalah nama pasar (souk) sekaligus alun-alun terbesar di Afrika yang menjadi highlight utama kota Marrakesh di mata dunia. Kurang afdal rasanya kalau ke Marrakesh tapi tidak main ke sini. Di Jemaa al-Fnaa ini kalian akan menemukan jejeran restoran, kios pop-up, pengamen... pokoknya begitu ramai manusia berlalu-lalang di lokasi ini.



Apa saja yang bisa kalian temukan di foto ini?

 

Cakepnya Jemaa el-Fna dari ketinggian 


Alun-alun Jemaa el-Fna yang didirikan pada abad ke-11 merupakan salah satu ruang budaya utama di Marrakesh. Tempat ini menjadi pusat unik tradisi budaya populer Maroko yang ditampilkan melalui ekspresi musik, agama, dan seni. Sepanjang hari hingga larut malam, kita bisa melihat berbagai macam atraksi: pengobatan tradisional, ramalan, jasa tato henna, permainan musik, hingga pemancingan khas pasar malam. Di pinggir-pinggirnya kita bisa mampir di kios buah, kudapan tradisional, dan masakan seafood. Sejumlah pertunjukan oleh pendongeng, penyair, pawang ular, musisi Berber (mazighen), penari Gnaoua, dan pemain senthir (hajouj) bisa kita nikmati di alun-alun ini. Tapi wajib berhati-hati dan menjaga barang bawaan, karena di keramaian seperti ini biasanya banyak copet dan scammer merajalela.


Kafe/restoran atap adalah yang paling laris di alun-alun ini 

Agar bisa menikmati Jemaa al-Fnaa sepenuhnya, kami mencari terrace cafe alias kafe/resto di atap yang bisa memberi pemandangan alun-alun dari ketinggian. Kafe pertama yang kami kunjungi adalah Le grand balcon du café glacier yang hanya menyediakan minuman saja. Karena kami datang pada waktu prime time alias menjelang sunset, tak heran kafe ini sudah ramai dengan pengunjung, baik yang duduk menikmati minuman ataupun sibuk mengambil foto dari tepi balkon berteralis.

Sedang asyik jeprat-jepret, tiba-tiba ada satu pasangan yang memandangi kami dengan senyum manis. Menilai wajah dan perawakannya, aku hampir yakin mereka adalah orang Korea atau Jepang. Eh ternyata mereka orang Malaysia yang berbahasa Melayu sehingga bisa menangkap percakapanku dan Bang Adi sedari tadi. Ya ampun, kebetulan sekali! Di Maroko ini memang tidak begitu banyak turis Asia Tenggara, cukup 'kebanting' dengan jumlah turis Eropa. Karena mereka sudah nongkrong di kafe itu sedari tadi, mereka pun langsung menyerahkan meja-kursinya untuk kami tempati. Ah, suka banget deh sama 'persaudaraan' bangsa Asia! 

Dari kafe pertama, kami beralih mencari restoran untuk makan malam. Perut sudah mulai meronta minta diisi makanan padat yang bergizi. Setelah menelusuri beberapa restoran, pilihan kami jatuh pada Cafe Rouge yang tampaknya belum begitu ramai. Hidangannya pun tampak meyakinkan jika dilihat sekilas dari buku menu. "Kita cari 'tajine' yuk Erlin," pesan Bang Adi saat kami mulai menyeleksi restoran. Itu adalah menu khas Maroko yang paling populer. Oke deh, mari kita coba pesan. 

Sambil menunggu datangnya makanan, kami menonton matahari perlahan-lahan terbenam di barat. Cantiiik sekaliii~ Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa indahnya langit Maroko sore itu. Keriuhan musik dan suara pedagang di alun-alun pun seakan menambah meriah suasana. Aku kini tak heran kenapa banyak orang suka pada Marrakesh.
 

Menunggu matahari terbenam

 


Little did I know, makan malam kali ini akan menjadi makanan a la carte terakhir kami selama beberapa hari ke depan. Rupanya budaya di Maroko adalah full course meal alias hidangan lengkap mulai dari appetizer, main menu, dan ditutup dessert. Kami sebagai orang Indonesia yang biasanya langsung 'lompat' ke menu utama sering merasa kewalahan dengan sistem ini. Tapi nanti lah ya kusimpan ceritanya untuk part 3 nanti. Sekarang, mari nikmati dulu tajine lezat di hadapan ini.

"Tajine" sendiri adalah hidangan semur tradisional khas Afrika utara yang dimasak di panci/pot "tajine" yaitu pot tanah liat. Panci ini dimasak secara tradisional di atas arang panas, tapi modern ini juga bisa dimasak dalam oven atau di atas kompor. Karena asal namanya, tajine akan disajikan di meja makan langsung di atas pot tanah liat. 

Lauknya sendiri ada tiga jenis: mqualli (ayam dan jeruk), kefta (bakso daging sapi dan tomat), dan mrouzia (domba, plum, dan almond). Untuk malam ini aku memesan mqualli alias ayam dan Bang Adi memesan mrouzia alias daging domba. Selama tujuh hari di Maroko, menu makan siang/malam kami tidak jauh-jauh dari ketiga jenis tajine. Bosen gak sih tajine melulu? Sebenarnya rasanya enak, aku pun juga suka makan semur ayam dan daging di Indonesia. Tapi ya jujur ADA BANGET sih bosennya 😅  


  


Selama di Maroko, kami terbiasa mendengar istilah asing yang hampir selalu ada di setiap kota. Misalnya "riad" yang merujuk pada hotel, "madrassa" alias (yes, you guessed it correctly!) sekolah, dan "hammam" yang berarti bathhouse atau pemandian umum. 

Istilah lain yang populer adalah "medina" atau "madinah" alias pusat kota yang cenderung kecil, tua, dan bersejarah. Ini bertolak belakang dengan pusat kota modern seperti yang biasa kulihat di Jakarta. Kemudian ada "souk" alias pasar jalanan tradisional yang biasanya berada di dalam medina ataupun di luar tak jauh dari pusatnya. Souk sering kali berupa labirin jalan dan gang sempit, seringkali tidak bisa dilewati kendaraan kecuali gerobak atau satu-dua ekor keledai pengangkut barang. Lokasi kami malam ini, Jemaa al-Fnaa, adalah kawasan medina yang punya souk di dalamnya.

Aku dan Bang Adi memutuskan untuk jalan-jalan sebentar di area souk atau pasar. Tujuan utamanya adalah untuk mencari kain selendang yang berfungsi sebagai turban saat tur Gurun Sahara. Mataku dikenyangkan dengan cantiknya kain, karpet, keramik, bahkan kudapan yang berwarna-warni. Rasanya ingin kupotret semua isi pasar... tapi memang banyak hal lebih baik dinikmati dengan mata telanjang saja. Aku dan Bang Adi mati-matian menahan diri untuk tidak belanja di sini. Masa baru hari pertama di Maroko udah borong sih? Hahaha. Kami pun 'hanya' membeli sehelai kain turban masing-masing seharga 50 dirham (=Rp1,600).



Perut sudah kenyang, badan sudah letih, maka sudah saatnya kami beristirahat. Aku dan Bang Adi memutuskan untuk langsung pulang ke hotel meskipun waktu 'baru' menunjukkan pukul 21:00. Besok pagi-pagi sekali kami harus bangun untuk naik mobil travel menuju kota selanjutnya. Ah, aku jadi nggak sabar ingin menceritakan kisahnya!

Terima kasih sudah mampir, readers, balik lagi nanti yaa untuk baca cerita Maroko part 2. Oh ya, mohon maaf kalau situs blog ini sering bermasalah, entah server-nya Blogger yang sedang gangguan atau akibat aku yang menganggurkan blog ini setahun lebih hahaha.