Ini adalah hari keempat di Maroko dan hari kedua ikut tur Merzouga. Sebelum masuk ke atraksi utama, kita akan terlebih dulu berkunjung ke Tinghir dan melihat perkebunan, perumahan tradisional, pembuatan karpet, dan belajar geografi di lembah-lembah. Sebenarnya aku ingin langsung menggabungkan ceritanya dengan perjalanan menuju Gurun Sahara, tapi ternyata banyak hal menarik yang ingin kuceritakan tentang wisata di Tinghir.
Mari kita mulai kisahnya...
DAY 4 - 12 NOVEMBER 2024
Pagi ini kuawali dengan rasa dingin yang menusuk karena the so-called AC 'penghangat' itu nggak berfungsi maksimal dan kami hanya punya satu selimut di kamar. Ah sudahlah, toh sebentar lagi kami akan check-out dan tidak akan pernah kembali ke sini. Biarlah aku menyimpan tenaga untuk membawa turun koper dari lantai empat ini. Mood-ku sedikit membaik ketika menemukan ruang makan masih tergolong sepi, dan sarapannya -- meski sederhana -- menyediakan telur dan butter untuk dioleskan ke roti. Cukup mengenyangkan bagiku. Tak berapa lama, antrean sudah tercipta dan cukup mengular. "Untung kita tepat waktu mulai sarapannya ya Lin," celetuk Bang Adi.
Supir akhirnya tiba, kami berdelapan langsung bergegas masuk ke dalam van. Aku tak kuat lagi menahan rasa dingin di luar. Sepertinya dari seluruh tempat yang kami kunjungi di Maroko, area inilah yang terdingin... yah karena dia juga yang paling tinggi sih. Van pun berangkat dan sempat singgah sebentar di "hotel luxury" untuk menjemput lima orang anggota tur lainnya.
Tampilan dinding Monkey Paw Mountains di pagi hari |
Perjalanan hari ini akan dimulai dengan tur setengah hari di Tinghir, sebuah kota di timur Maroko yang berjarak sekitar 70 km dari tempat kami menginap. Setelah berkendara satu jam, van kami berhenti di tepi jalan Boulevard Birinzrane. Seorang pria berpakaian jubah putih membuka pintu mobil dan menyapa kami hangat, "Hello everyone, my name is Ahmed and I am your guide for today." Demikianlah kami berkenalan dengan pemandu tur hari kedua ini.
Jembatan Wadi Toudgha |
Ahmed memberikan penjelasan tentang tanaman di ladang |
Ahmed mengajak kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang membelah area luas ini menjadi petak-petak sawah. Bedanya dengan sawah, ladang di sini lebih kering dan tidak becek. Ahmed lalu menjelaskan bahwa tanaman di area itu bukanlah padi-padian, tetapi sejenis tanaman rumput untuk makanan ternak. Setiap petak biasanya dimiliki oleh orang yang berbeda. Biasanya para pemilik datang untuk mencabut rumput lalu diberikan kepada hewan ternaknya di rumah. Atau bisa juga langsung membawa ternaknya ke ladang, seperti yang bisa readers lihat di foto di bawah.
Seekor keledai menikmati makanannya langsung dari ladang |
Perjalanan menyusuri ladang dan kebun ini berakhir di sungai yang belakangan kuketahui bernama Todra River. Hari itu aliran sungai tidak begitu tinggi dan deras, sampai-sampai ada sepeda motor yang bisa menyeberang tanpa kendala.
Motor mudah saja menyeberangi sungai |
Kami lalu dituntun menuju kawasan perumahan tradisional yang ada di seberang Sungai Todra. Di peta, readers bisa menemukan area ini dengan nama The Berber House yang memang secara harfiah berarti rumah-rumah (orang) Berber. Masih ingat dengan desa Ait Benhaddou kemarin? Nah, rumah-rumah ini juga dibangun dengan tanah liat seperti Benhaddou, tak heran dindingnya jadi berwarna oranye kemerahan seperti warna tanah liat. Kami berjalan mengitari kawasan ini sekitar 30 menit sambil mendengar penjelasan Ahmed.
Tekstur dinding rumah Berber dari dekat |
Jika diamati dari dekat, tembok rumah Berber ini dibuat dari campuran tanah liat dan jerami. Atapnya sendiri juga terbuat dari jerami. Bahan-bahan ini memiliki dwifungsi: di musim panas dia membuat rumah tetap adem, dan di musim dingin dia menjaga suhu dalam rumah tetap hangat. Canggih sekali ya bahan-bahan tradisional ini?
Bingkai pintu modern di rumah tradisional |
Salah satu pelajaran menarik yang aku peroleh dari tur kali ini adalah soal huruf Berber. Ternyata suku Berber memiliki alfabetnya sendiri, selayaknya aksara Jawa dan Lampung. Zhor dan suaminya Mohammed menjelaskan soal huruf ini kepada kami. Dan sama juga seperti aksara-aksara tradisional di Indonesia, huruf Berber juga mulai pudar karena tidak diajarkan pada generasi muda. Mohammed misalnya masih bisa memahami bahasa Berber, tapi tidak begitu lancar mengucapkannya.
Penasaran dengan hurufnya? Nah, huruf Berber untuk penulisan jalur "Tizi n Tichka" adalah: ⵜⵉⵣⵉ ⴻⵏ ⵜⵉⵛⴾⴰ Jika diamati, alfabet Berber ini sama saja dengan alfabet Romawi yang biasa kita pakai ya dan tidak sesulit huruf kanji Jepang dan hanzi China. Barangkali readers ingin tinggal di Maroko dan mempelajari bahasa Berber, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah belajar alfabetnya hehehe.
Ahmed kemudian mengajak kami mampir ke rumah salah satu pengrajin karpet handmade. Tinghir ini memang terkenal sebagai daerah pembuat karpet tradisional khas Berber. Kami berkenalan dengan seorang pria -- aku lupa namanya -- yang selanjutnya menjelaskan banyak hal terkait pembuatan karpet. Dia menjelaskan jenis-jenis teknik berbeda untuk berbagai karpet, ternyata ada banyak sekali jenis teknik dan pastinya semua itu menghasilkan karpet yang indah. Silakan menikmati foto-foto di bawah, semuanya adalah karpet handmade yang dibuat dengan teknologi tradisional.
Berbagai kerajinan karpet handmade |
Rasanya ingin memborong semua |
Sayangnya tidak ada satupun dari kami yang membeli karpet di sini. Sebenarnya secara harga karpet di Tinghir ini lebih murah daripada karpet Maroko yang dijual di Indonesia, tapi tidak mungkin kan kami mau berat-berat membawa karpet ini saat pulang nanti? Bisa juga sih dikirim lewat kargo... tapi rasanya tidak efisien. Cukuplah cerita dan foto-fotonya saja yang kami bawa pulang.
Salah satu yang berkesan bagiku adalah si pengrajin ini menguasai banyak bahasa. Memang begitulah kemampuan alami orang-orang Maroko yang tinggal di perbatasan Eropa dan Afrika. Mereka menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa nasional, namun lihai berbahasa Prancis, Spanyol, dan Italia juga karena banyaknya turis dari negara tersebut yang berkunjung ke Maroko. Tak ketinggalan bahasa Inggris juga sebagai bahasa global, dan bahasa Berber sendiri sebagai bahasa daerah.
Sampai jumpa, Tinghir! |
Perjalanan dilanjutkan ke destinasi kedua yaitu Dadès Gorge atau Ngarai Dadès dalam Bahasa Indonesia. Kami bermobil selama satu jam atau sekitar 70 km ke arah Barat. Destinasi ini berupa serangkaian ngarai atau lembah yang dalam dan curam yang terbentuk oleh aliran Sungai Dadès. Ketika turun dari mobil, hal pertama yang ku-notice adalah tingginya dinding ngarai mengapit jalanan, dan aliran sungai cetek di bawahnya. Sayang sekali kami tiba saat hari masih siang, sehingga posisi matahari tidak begitu maksimal menyinari ngarai. Banyak bayangan gelap yang terbentuk karena matahari berada di atas kepala. Sepertinya akan lebih estetik jika sinar datang dari timur atau barat.
Ngarai Dades dan aliran Sungai Dades |
Karena posisi matahari yang sudah tinggi di atas kepala, ditambah lambung yang sudah mulai keroncongan, jujur saja aku tidak begitu menyimak penjelasan dari Ahmed di lokasi ini. Walau begitu, aku tak henti-hentinya berdecak kagum saat melihat dinding-dinding ngarai yang terbentuk oleh erosi aliran air sungai atau proses geologi lainnya selama jutaan tahun.
Aku tidak banyak menjepret di Ngarai Dadès. Hanya sesekali saja ketika ada situasi yang menarik, seperti seekor keledai dan anaknya yang tiba-tiba lewat, atau sekelompok pemanjat di kejauhan yang tampaknya baru selesai memanjati salah satu dinding ngarai. Tinggi ngarai bervariasi, di beberapa tempat ada yang mencapai 1.600 meter. Lumayan juga jika didaki hanya dengan bergelantungan di tali... aku ngeri-ngeri sedap membayangkan proses pemanjatan mereka.
Sekelompok pemanjat di puncak ngarai |
Keledai dan kuda pengangkut barang |
Readers masih inget nggak, aku sempat menyinggung soal "budaya tip di Maroko" pada post bagian pertama? Nah, di akhir tur Gorges Dades ini kami berpisah dengan Ahmed si pemandu tur, namun dia menutupnya dengan pesan, "Jika kalian senang dengan guide saya, mohon berkenan memberi tip. Namun jika tidak juga, tidak masalah, saya tak berkeberatan." Memang sih budaya meminta (dan memberi tip) ini cukup lumrah di dunia pariwisata di negara apapun. Bahkan di beberapa negara, salah satunya Austria (yang paling kuingat), para waiter/waitress restoran pasti meminta tip saat kita membayar tagihan. Konon di negara-negara ini, gaji para waiters ini memang sedikit, jadi mereka sangat bergantung pada bayaran tip.
Di Maroko sendiri, para guide selalu minta tip jika kita berkenan. Aku dan Bang Adi memang tipikal orang yang pasti memberi tip, apalagi kalau si pemberi jasa memang layak mendapatkannya. Namun kami cukup kaget ketika di kios penjualan SIM card, si pegawai terang-terangan minta tip untuk jasanya menyetel SIM card. Pertama, wasn't this part of your service? Kedua, caranya meminta tip sungguh lantang seakan kami tidak punya ruang untuk menolak. Alhasil Bang Adi menyuruhku untuk ngasih tip 50 dirham.
Belajar dari kebiasaan meminta tip ini, serta berkaca pada turis-turis lain yang cukup pelit dalam memberi tip (padahal mereka kan berasal dari negara yang lebih kaya!), di beberapa kesempatan aku jadi lebih berani untuk menolak jika dimintai tip. "Sorry, we don't have that much money." Jujur 100% sih... toh harga rupiah juga lebih murah daripada dirham. Aku merasa lebih adil jika mereka minta tip kepada orang-orang Eropa saja. Eh tapi aku nggak mau kasih tip untuk restoran ya... kalau untuk pemandu wisata sih tetap ngasih.
Terima kasih, Ahmed! |
Oke, sekian intermezzo soal tip-mengetip di Maroko. Kembali ke cerita, rombongan kami pun berpisah dengan Ahmed dan berjalan kaki sedikit untuk balik ke van. Bang Adi sempat membeli satu stel pakaian katun putih yang telah diincarnya sejak masih di Marrakesh. Harganya lebih mahal 50 dirham, tapi tetap dibelinya karena ini pun sudah lebih murah daripada harga jual di tempat wisata lain seperti Ait Benhaddou kemarin.
Cerita berlanjut ke Part 4...
0 testimonial:
Post a Comment